Jakarta – Politisi PSI Tsamara Amany juga turut mengungkapkan pengalamannya terkait buzzer di media sosial dalam acara ILC TV One yang bertajuk “Siapa yang Bermain Buzzer?”. Tsamara bercerita bahwa dirinya juga pernah menjadi korban pendengung media sosial.
“Kita semua jadi korban buzzer, saya pun jadi korban buzzer,” ucap Tsamara pada Selasa (08/10/2019).
Kemudian, Tsamara menuturkan cerita mengenai cuitan yang ia unggah pada Minggu (29/09/2019) lalu. Unggahan tersebut berisi tentang dukungannya terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
“Beberapa hari yang lalu saya ngetweet soal dukungan untuk Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Bagaimana saya mendukung pasal anti pemerkosaan dalam rumah tangga, untuk melindungi banyak perempuan, diserang habis-habisan, banyak sekali reply-nya,” tutur Tsamara.
Baca Juga: Haikal Hassan: “Demi Allah Tidak Ada Buzzer Bayaran di Tempat Kami”
Cuitan tersebut, kata Tsamara, kemudian sempat trending. Akan tetapi, Tsamara juga menerima sejumlah ujaran balasan dengan bentuk melecehkan, menyerang, dan menentang pendapatnya. Namun, Tsamara memiliki cara untuk menghadapi hal tersebut.
“Demokrasi dalam media sosial itu sama dengan punya jendela dan pintu terbuka. Bertemu udara yang segar-segar tapi juga bertemu dengan udara yang buruk, maka saya tidak ladeni yang seperti itu,” ujar Tsamara.
“Ide lawan dengan ide, pendapat yang buruk lawan dengan pendapat baik, obat dari kebohongan adalah kebenaran dan itu gunanya media sosial,” imbuhnya.
Dalam kesempatan tersebut, Tsamara mengatakan bahwa dirinya menjunjung kebebasan berpendapat. Terlebih di dalam iklim demokrasi. Akan tetapi ia tidak setuju dengan segala bentuk ujaran kebencian.
“Menurut saya, siapa pun boleh berpendapat, individu itu memiliki kebebasan berpendapat dan dilindungi oleh konstitusi selama batasannya itu jelas, yaitu hate speech, melakukan serangan atas suku, agama dan ras, membangun kebencian terhadap satu kaum maka dia bisa diproses secara hukum,” kata Tsamara
“Tapi jika tidak anggaplah ini sebuah ruang kontestasi dan itu adalah pilihan kita dalam demokrasi. Demokrasi itu pasti berisik. Ketika demokrasi tidak berisik maka ada yang salah dengan demokrasi,” sambungnya. (Elhas-www.harianindo.com)