Jakarta – Pengamat Politik Rocky Gerung mengklaim bahwa kubu 01 capres cawapres terpilih Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin merasa tidak siap perihal rekonsiliasi dengan kubu 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Hal ini dinyatakan oleh Rocky gerung saat menjadi narasumber dalam program Indonesia Lawyers Club bertema ‘Wajah Demokrasi Kita’, Selasa (02/07/2019).
Awalnya, Rocky Gerung menganggap bahwa Prabowo dalam menanggapi rencana rekonsiliasi terlihat gembira dan justru kubu Jokowi terlihat muram.
“Nah yang mengagetkan saya adalah, saya lihat tadi potongan layar tv Pak Karni, Pak Prabowo justru gembira saja menghadapi soal ini, yang agak gugup justru adalah kubu Pak Jokowi karena menunggu kepastian kapan rekonsiliasi dengan Prabowo itu,” ujar Rocky Gerung.
Rocky merasa heran bahwa kubu Jokowi terlihat seperti tidak sepenuhnya menginginkan hal tersebut.
“Jadi agak ajaib, seorang yang memenangkan atau berpesta justru hatinya tidak lega,” kata Rocky Gerung.
“Itu yang menerangkan bahwa, saya menganggap, Pak Jokowi dimenangkan secara legal, tetapi legitimasi ada pada Prabowo, dan itu musti didamaikan, bagaimana mendamaikan, dua problem satu di kutub utara, satu di kutub selatan,” paparnya.
Menurut Rocky Gerung, harus ada huru-hara baru agar kedua kubu tersebut dapat melakukan rekonsiliasi.
“Harus ada badai baru mendamaikan untuk menghasilkan rekonsiliasi, itu yang kita cari, jadi kita harus menciptakan badai baru sebetulnya,” ujar Rocky Gerung
“Supaya kita bisa berselancar di situ dan menikmati tantangan di depan gelombang. Bukan sekedar Pak Karni yang berselancar, seluruh negeri ini.”
“Problemnya adalah siapa yang lebih berpengalaman berselancar di tengah badai. yanga da berselancar di tengah ombak kedunguan itu. Itu yang kita hadapi,” sambungnya.
Rocky Gerung juga menyoroti hasil sidang sengketa Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kita dibuat macet berpikir, karena orang bertahan pada argumen bahwa MK sudah memutuskan secara benar, bukan secara benar, secara legal. Secara legal karena yang diajukan kepada forum MK bukan sekedar legal,” jelasnya.
“Tapi problem etis, ada ketidakadilan masuk ke MK, dibilang ‘kami tidak bisa periksa moral klaim Anda’, curang itu adalah moral klaim karena kami di batas undang-undang, peralatan kami bukan akal, tapi kalkulator. Memang itu yang dilakukan,” paparnya.
Dirinya menilai bahwa MK telah gagal untuk menginovasi hukum dengan memanfaatkan momentum sengketa pilpres kemarin.
“Ada moral yang tidak diselesaikan, jadi terjadi pembelahan di masyarakat. Jadi saya berpendapat MK gagal memanfaatkan momentum untuk menghasilkan inovasi hukum,” paparnya. (Hari-www.harianindo.com)