Jakarta – Marawi di Filipina terkenal sebagai kota Muslim terbesar dengan lebih dari 200 ribu penduduk. Berlokasi di tepi Danau Lanao di Mindanao kota ini masuk dalam pulau kedua terbesar di Filipina.
Dan jika melihat dari kejadian pada tahun 2017 lalu, dua orang warga lokal simpatisan ISIS bersikeras ingin mengubah Marawi menjadi ibu kota kekhalifahan di Asia Tenggara.
Mereka hanya memiliki beberapa ratus anggota, tetapi antara bulan Mei hingga Oktober berhasil menduduki pusat kota tua. Jihadis ISIS ini telah menyandera, membunuh warga Kristiani dan memasuki masjid-masjid, seperti Masjid Bato Ali.
Para teroris menggambarkan tentara bersenjata Filipina adalah yang terkuat yang pernah mereka hadapi sejak Perang Dunia II. Pada akhirnya, serangan udara digunakan dengan bantuan yang besar dari Amerika Serikat untuk melawan para teroris ini. Lebih dari 1.200 orang tewas.
Marawi “hanyalah permulaan”, tegas Norodin Lucman. Sebagai pemimpin yang bersih, ia cukup dihormati di wilayahnya. Dia juga mengenal beberapa anggota ISIS di Marawi secara pribadi: anak muda yang marah dan tidak puas atas lingkungannya sendiri. Pada hari ke-12 pengepungan, ISIS mengizinkan Lucman membawa 150 warga sipil, Muslim dan Kristiani untuk keluar dari zona pertarungan.
“Banyak kesengsaraan, kebencian, kemarahan dan kebiadaban setiap harinya”, ujar Lucman.
“Akan ada pemberontakan lainnya”, tambah Lucman ketika berbicara tentang “keberlanjutan perang kolonial melawan rakyat”.
Pemerintah Filipina sebetulnya juga telah bernegosiasi dengan Moro Islamic Liberation Front atau MILF. MILF adalah kelompok Muslim pemberontak terbesar di Mindanao, banyak anggotanya membelot ke ISIS. Sudah puluhan tahun kelompok ini berjuang untuk merdeka sebagai negara Muslim.
Namun hingga kini mereka telah memoderasi tuntutannya dan sekarang berkampanye untuk wilayah Muslim dengan otonomi yang luas, yakni di kota Bangsamoro. Jika niatnya tercapai, maka Bangsamoro akan memiliki parlemen, anggaran, dan hukum Islam sendiri.
Masa kepemimpinan Presiden Duterte akan berakhir pada tahun 2021 dan tidak ada jaminan penggantinya nanti akan melanjutkan janji pemberian daerah otonomi ini. Kemungkinan lainnya adalah adanya konflik dalam tubuh MILF sendiri atau antara MILF dengan kelompok-kelompok Muslim pemberontak lainnya. Kekhawatiran akan perpecahan antara klan Muslim tradisional di Mindanao juga menjadi perhatian.
“Ketika ISIS di Timur Tengah memutuskan untuk mencari seorang ’emir’ atau pemimpin di daerah ini, mereka tidak memilihnya dari Indonesia atau Malaysia. Mereka memilih orang Filipina,” jelas akademisi Richard Heydarian. “Mereka percaya garda terdepan ISIS di Asia Tenggara ada di selatan Filipina, bukan di negara Muslim seperti Indonesia atau Malaysia”.
(Ikhsan Djuhandar – www.harianindo.com)