Jakarta – Beberapa waktu lalu, Wakil Sekjen Partai Demokrat, Andi Arief sempat menuding bahwa Sandiaga Uno memberikan mahar Rp1 triliun agar bisa menjadi Cawapres Prabowo. Tudingan tersebut sejatinya perlu diusut. Pasalnya, jika tudingan itu benar adanya, hal itu bisa berpotensi melanggar Undang-Undang Pemilu dan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, larangan mahar politik telah tertera secara jelas pada Pasal 228 UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Oleh sebab itu, Titi mengatakan bahwa tudingan Andi Arief harus bisa diusut secara tuntas.
“Pasal 228 UU 7 Tahun 2017 sudah sangat jelas dan terang benderang. Bahwa partai politik dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun,” kata Titi saat dihubungi di Jakarta, Minggu, 12 Agustus 2018.
Dalam hal itu, ketika sudah ada dugaan terbuka di ruang publik soal pemberian imbalan ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus bergerak cepat dan proaktif dalam menelusuri dan menindaklanjutinya. Kerja cepat Bawaslu, lanjut dia, diperlukan untuk menjaga kepercayaan pada proses penyelenggaraan pemilu 2019.
Pasalnya, jika kredibilitas prosesnya diragukan oleh masyarakat, akibatnya animo masyarakat pada pelaksanaan pemilu akan menurun. Isu ini juga dinilai sangat menciderai kredibilitas serta marwah pemilu dan demokrasi Indonesia. Lebih lanjut, jika tudingan mahar politik itu benar, hal itu bisa termasuk dalam praktik suap dalam KUHP maupun UU Tipikor.
“Apalagi kalau melibatkan para penyelenggara negara, bisa dikategorisasi sebagai tindak pidana korupsi,” tutur dia.
Meski pasal pidana suap tidak tercantum dalam UU Pemilu, Bawaslu diminta bergerak progresif untuk melakukan upaya maksimal dalam penegakan hukum dengan mengoptimalisasi seluruh peraturan perudang-undangan terkait.
“Termasuk ketentuan pidana umum dalam KUHP berkaitan dengan suap,” ujarnya.
Titi juga mengungkapkan, Bawaslu perlu berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan aliran uang dan penerimaanya. Apalagi, jika melibatkan penyelenggara negara.
“Terpenting lagi agar ini tidak hanya sekedar jadi spekulasi di masyarakat saja. Bawaslu punya tanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum,” tutur dia.
Meski demikian, menurut Titi, isu ini harus dibuat jelas agar tidak menjadi polemik dan blunder. Bawaslu, tambah dia, harus bisa menelusuri kebenarannya. Pasalnya, ia menilai, tudingan yang dilempar oleh Andi Arief bisa saja hanya sekedar fitnah belaka.
“Kalau fitnah maka harus ada proses hukum. Demikian pula sebaliknya kalau terbukti ada pemberian uang. Sebagai pemilih, kita sama-sama ingin pemilu bersih dan bebas fitnah,” tegas Titi.
(Ikhsan Djuhandar – www.harianindo.com)