Jakarta – Keterbatasan dalam pendengaran membuat para penderita tuna rungu merasa kesulitan di dalam mencari pekerjaan. Hal ini juga dialami oleh seorang pemuda bernama Adhika Prakoso.
Karena terlalu sering ditolak lamarannya untuk bekerja di perusahaan, Andhika memutuskan untuk membuka usaha sendiri bersama dua rekannya yang juga tuna rungu, Trierwinsyah dan Putri.
Mereka berkolaborasi dan mendirikan kedai kopi yang mereka beri nama Koptul alias Kopi Tuli. Kedai ini didirikan di Jalan Krukut Raya No.70 Cinere, Depok.
“Kedai kopi kami ini baru dibuka pada 12 Mei 2018 lalu. Dilatarbelakangi kesulitan kami mendapat pekerjaan yang layak karena keterbatasan kami. Inilah yang menjadi semangat saya membuka usaha agar teman-teman tuli bisa memperoleh pekerjaan yang layak,” ujar Adhika.
Andhika sendiri adalah penyuka kopi dan sempat belajar untuk meramu dan mengelola bisnis kopi di Toffin.
“Belajar dan dapat mesinnya di Toffin. Satu minggu belajar. Jadi saya belajar mengoperasikan mesin pembuat kopi dan juga bisnisnya. Semua lebih mudah karena saya memang pecinta kopi dan sudah punya basic meramu kopi,” terang Adhika.
Menurut sarjana lulusan Desain Komunikasi Visual di Binus University ini, di Kedai Koptul ini, para pengunjung juga bisa mempelajari bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan penderita tuna rungu.
Bahkan di kemasan gelas kopinya juga tercetak simbol Bisindo dan abjad yang mewakilinya.
“Salah satu tujuan saya membuat simbol Bisindo itu agar pengunjung ketika minum kopi tuli bisa belajar bahasa isyarat dan bertukar informasi dengan teman-teman tuli lebih mudah,” ungkap Andhika.
Untuk mempermudah pemesan dalam memesan kopi, Andhika menyiasatinya dengan menyediakan menu minuman dengan simbol huruf A, B, C, D, E, F, G, H, atau I. Misalnya, bila pengunjung ingin memesan Es Kopi Susu, maka tinggal menyebutkan huruf ‘A’ saja.
“Kami juga bisa menggunakan kemampuan verbal atau dengan bantuan gestur tangan ketika pengunjung tidak bisa bahasa isyarat,” tambah Adhika.
Selain itu, yang membuat kedai kopi ini berbeda dengan kedai kopi lainnya yakni tidak adanya fasilitas Wi-Fi. Andhika beralasan, kedai kopi tersebut memang sengaja dibuat agar pengunjung tidak sibuk dengan gadgetnya, tapi bisa saling berbincang atau berdiskusi dengan teman-temannya.
“Jadi di kopi tuli tidak ada Wi-Fi agar orang bisa berkomunikasi. Biar pure ngobrol dan bisa belajar Bisindo,” jelasnya.
(samsul arifin – www.harianindo.com)