Jakarta – Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Gerindra Mohammad Nuruzzaman memutuskan mundur dari Gerindra setelah cuitan Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon soal Yahya Cholil Staquf membuatnya marah.
“Selama ini sy diam dan tidak pernah berkomentar apapun soal @Gerindra @prabowo dan @fadlizon karena saya pernah nyalon dpr ri lewat gerindra tahun 2014.
Tp hari ini saya akan siap bertarung menggembosi @Gerindra krn kelakuan @fadlizon cc @GPAnsor_Satu @mantriss @GunRomli @qitmr, demikian tulis akun @noeruzzaman.
Sebelumnya, melalui akun Twitternya @fadlizon, Fadli menyinggung soal pernyataan tokoh NU Yahya Cholil Staquf yang hadir sebagai salah satu pembicara di forum diskusi yang dimoderatori oleh Direktur Forum Global AJC Rabi David Rosen, di Israel pada Minggu (10/6/2018) waktu setempat.
“Cuma ngomong begitu doang ke Israel. Ini memalukan bangsa Indonesia. Tak ada sensitivitas pd perjuangan Palestina. #2019GantiPresiden,” tulis akun @fadlizon.
Selain marah terhadap Fadli Zon yang dinilainya telah menghina Yahya Staquf, Kadensus 99 Banser NU ini juga merasa kecewa dengan Gerindra yang arah perjuangannya telah melenceng jauh.
Berikut transkrip surat pengunduran diri Nuruzzaman yang diunggah oleh akun Twitter @qitmr, pada Selasa (12/6/2018):
“Assalamualaikum Wr.Wb.
Surat ini saya sampaikan kepada Bapak Prabowo Ketua Umum Partai Gerindra.
Surat ini adalah surat terbuka.
Yang Terhormat Bapak Prabowo Subianto yang saya banggakan.
Nama saya Mohammad Nuruzzaman anggota Gerindra.
Melalui surat ini saya akan sampaikan terkait posisi saya sebagai anggota, dan juga pandangan umum yang saya dapatkan ketika melakukan turun lapangan terkait isu strategis partai Gerindra.
Pertama, saya sampaikan kepada Bapak Prabowo bahwa saya bergabung dengan Partai Gerindra pada tahun 2014 tepat pertarungan Pilpres.
Dan saya berbangga hati bisa mengenal bapak di perhelatan akbar pemilihan presiden melawan Bapak Joko Widodo.
Hal utama dan pertama yang melatar belakangi saya mendukung bapak adalah jiwa kepedulian dan keberanian.
Hal ini adalah nafas saya dalam berjuang bersama Gerindra.
Karena karakter kita sama, saya merasa berada di rel perjuangan yang benar.
Saya juga mencalonkan diri sebagai calon legislatif di periode tahun 2014, walaupun gagal, dan saya masuk di kepengurusan Partai Gerindra, walau jarang diundang untuk mengikuti rapat untuk tidak mengatakan sama sekali.
Tidak terlalu masalah, karena selama Bapak yang memimpin, saya pertaruhkan kepercayaan dan ikhtiar saya ke Gerindra.
Bahkan saya masih bangga walau Bapak kalah di Pilpres, tapi muka dan dada Bapak tidak menunjukkan kekalahan sebab Bapak adalah pemenang bagi saya.
Waktu pun berjalan.
Partai Gerindra ternyata belok menjadi sebuah kendaraan kepentingan yang bukan lagi berkarakter pada kepedulian dan keberanian, tapi berubah menjadi mesin rapuh yang hanya mengejar KEPENTINGAN SAJA! Mark my words Pak Prabowo.
Manuver Gerindra yang sangat patriotik sekarang lebih menjadi corong kebencian yang mengamplifikasi kepentingan politis busuk yang hanya berkutat pada kepentingan saja, sama sekali hilang INDONESIA RAYA yang ada di dada setiap kader Gerindra.
Makin parah lagi, pengurus Gerindra makin liar ikut menari pada isu SARA di kampanye Pilkada DKI di mana saya merasa sangat berat untuk melangkah berjuang karena isi perjuangan Gerindra hanya untuk kepentingan elitnya saja sambil terus menerus menyerang penguasa dengan tanpa data yang akurat.
Isu SARA yang sudah melampaui batas dan meletakkan Jakarta sebagai kota paling intoleran adalah karena kontribusi elit Gerindra yang semua haus kekuasaan dunia saja, tanpa mau lagi peduli pada rakyat di mana Bapak harusnya berpijak.
Saya adalah santri yang berjuang berdasarkan platform kepedulian dan keberanian.
Garis yang sama seperti saya kenal Bapak di awal yang kemudian saya kecewa karena Bapak sudah makin tuli untuk mendengar kami yang masih ingin berjuang demi Indonesia melalui Partai Gerindra.
Oleh sebab itu, saya sudah berfikir untuk mundur dari Gerindra pada Desember 2017 lalu karena kontibusi dan ketulusan saya berjuang bersama tidak pernah terakomodir. Sehingga, tinggal mencari momen yang tepat yang sesuai dengan premis awal saya di atas.
Hari ini, 12 Juni 2018, saya marah.
Kemarahan saya memuncak karena hinaan saudara Fadli Zon kepada kiai saya, KH Yahya Cholil Staquf terkait acara di Israel yang diramaikan dan dibelokkan menjadi hal politis terkait isu ganti Presiden.
Bagi santri, penghinaan pada kiai adalah tentang harga diri dan marwah, sesuatu yang Pak Prabowo tidak pernah bisa paham karena Bapak lebih mementingkan hal politis saja.
Akhir kata, saya Mohammad Nuruzzaman, kader Gerindra hari ini mundur dari Partai Gerindra dan saya pastikan, saya akan berjuang untuk melawan Gerindra dan elit busuknya sampai kapan pun.
Semoga Bapak selalu sehat.
Wallahul Muwafiq ila aqwamith Thariq.
Wasalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap Nuruzzaman saat membacakan surat pengunduran diri.
(samsul arifin – www.harianindo.com)