Jakarta – Pemerintah melalui Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Antiterorisme saat masih terus berupaya untuk segera merampungkan RUU tersebut. Alasannya pembahasan mengenai salah satu regulasi hingga saat ini masih menuai pro-kontra.
Dilansir dari Jawapos, Kamis (24/05/2018), pro-kontra yang dimaksud adalah definisi terorisme yang memasukan frasa motif politik, ideologi, dan keamanan negara. Dalam pembahasan regulasi ini, pemerintah menginginkan definisi terorisme yang sesuai dengan Pasal 6 dan Pasal 7 yang ada dalam draf RUU Antiterorisme.
Kedua pasal tersebut menyebutkan bahwa terorisme adalah segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan maksud menimbulkan suasana teror dan rasa takut.
Tak hanya sampai di situ, aksi itu juga dapat menimbulkan korban yang bersifat masal, dan/atau mengakibatkan kerusakan, kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, publik, atau fasilitas internasional.
Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme Supiadin Aries Saputra mengatakan bahwa saat ini pihaknya tak menampik bahwa masih adanya tak kesepahaman antara pemerintah dan lembaga legislator. Khususnya pembedaan antara tindakan kriminal dan terorisme.
Baca juga : Polisi Pindahkan 58 Napi Teroris Dari Mako Brimob ke Lapas Gunung Sindur, Ini Alasannya
“Boleh orang ditangkap sebagai terduga (terorisme), tetapi ketika dia diperiksa saya tidak punya motif ideologi Pak, saya tidak punya motif politik, saya tidak punya tujuan apa-apa. Saya hanya benci aja sama polisi, dia tusuk. Nah apakah dia teroris? Belum tentu kan?” kata Supiadin saat usai melakukan rapat RUU Antiterorisme di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (23/05/2018).
Lebih lanjut Supiadin menjelaskan bahwa ia menilai tindakan itu merupakan bagian bentuk tindakan kriminal, bukan sebagai terorisme. Namun sebaliknya, dirinya pun memberikan contoh dua mantan teroris dalam lingkup anggota Sabhara, yakni Sofyan Tsauri dan Yudi Fahri. Kedua orang yang terlibat dalam pelatihan teroris di Cijantung itu dinilanya merupakan contoh konkret tindakan terorisme.
“Mereka saya tanyakan, apa kamu alasan mau nyerang negara ini? Apa alasan kamu jadi teroris? Ideologi, Pak. Kami menyerang orang itu karena ideologinya berbeda, maka kami bilang dia toghut, kafir. Kalau dia toghut dia kafir, dia harus kami serang,” jelasnya.
“Itulah yang pembeda, jadi berarti kamu bukan kriminal? Bukan Pak, kalau kami kriminal, kami bunuh orang, kami rampas barang-barangnya. Artinya kalau kriminal biasa itu ada tujuan finansial, dia ada tujuan merampas orang lain, itu kriminal, kalau ideologi tidak,” sambungnya.
(Muspri-www.harianindo.com)