Yogyakarta – Seperti yang telah diketahui bersama, Instruksi Kepala Daerah No. K 898/I/A/75 tentang penyeragaman kebijakan pemberian hak atas tanah kepada warga negara Indonesia (WNI) nonpribumi masih diberlakukan oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Kepala Biro Hukum Setprov DIY Dewo Isnu Broto Imam Santoso mengatakan bahwa kebijakan yang dimulai sejak tahun 1975 atau di era Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX tersebut hingga saat ini masih berlaku dan belum dicabut.
“Sehingga tanahnya kembali menjadi tanah negara yang dikuasai langsung Pemerintah DIY. Kemudian yang berkepentingan/melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada kepala daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak,” tulis Paku Alam VIII dalam instruksi bertanggal 5 Maret 1975 itu.
Keputusan pemprov mempertahankan instruksi tersebut bukan tanpa risiko. Sebab, beberapa kali Dewo harus berjibaku di pengadilan.
Salah seorang warga yang getol mengajukan upaya hukum adalah Handoko. Pria yang tinggal di Jalan Taman Siswa itu tercatat tiga kali menggugat.
Pertama, mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Uji materi ini tidak diterima.
MA beralasan materi yang diuji bukan merupakan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Tapi, instruksi kepala daerah itu merupakan kebijakan.
Kedua, Handoko maju ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jogjakarta. Lagi-lagi upayanya belum berhasil. PTUN juga tidak menerima gugatan yang diajukan.
“Sekarang Handoko menggugat lagi secara perdata ke Pengadilan Negeri Jogja. Ini kali ketiga setelah dua gugatan sebelumnya berhasil kami menangkan,” ucap Dewo.
Dalam gugatan ketiga ini, Handoko menyebut Gubernur DIY Hamengku Buwono X telah melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam gugatannya, dia memohon kepada majelis hakim PN Jogja untuk menyatakan Instruksi Kepala Daerah No. K 898/I/A/75 tidak memiliki kekuatan hukum dan bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
(Ikhsan Djuhandar – www.harianindo.com)