Sidoarjo – Pada Selasa (6/6/2017) silam, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyempatkan diri berkunjung ke KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dan KH Maimoen Zubarir (Mbah Moen) di Rembang. Kini, dirinya bersilaturrahmi dengan para kiai di Ponpes Progresif Bumi Sholawat, Sidoarjo pada (10/6/2017) kemarin.
Tito tiba di Ponpes yang diasuh KH Agoes Ali Masyhuri (Gus Ali) sekitar pukul 16.15. Sejumlah kiai sepuh hadir. Di antaranya Wakil Rais Am PB NU KH Miftahul Akhyar, Ketua PW NU Jatim KH Moh Hasan Mutawakkil Alallah, KH Zajuli Hamim (Ponpes Al Falah, Kediri), dan masih banyak kiai lainnya.
Turut hadir pula Gubernur Jatim Soekarwo, Pangdam V/Brawijaya Mayjend TNI Kustanto Widiatmoko, Pangarmatim Laksamana Muda TNI Darwanto, dan Kapolda Jatim Irjen Machfud Arifin. Sejumlah kepala daerah juga hadir seperti diantaranya Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Ketika memberi sambutan, Tito turut menjelaskan pentingnya menguatkan persatuan bangsa dalam kebhinekaan untuk menjaga keutuhan NKRI. Baginya Jatim memiliki sejarah penting bagi bangsa. Mulai sejarah kemerdekaan hingga kehidupan yang multikultural.
“Kita harus bangga hidup dalam keberagaman,” jelasnya.
Kejadian di luar Indonesia, lanjut Tito, saat ini sangat memprihatinkan. Bom-bom meledak oleh teroris dan gerakan radikalisme. Dia menyatakan, keadaan tersebut tidak akan terjadi jika setiap elemen masyarakat bisa hidup rukun. Jika warga tidak mampu hidup rukun, bukan hanya teroris yang akan masuk ke Indonesia. Peluang perpecahan juga semakin besar.
Guna menciptakan suasana negara tetap kondusif, ada tiga poin utama yang disampaikan Tito. Pertama, negara harus mampu memperbaiki kondisi internal. Saat ini, jarak antara yang kaya dan yang miskin masih jauh. Suatu negara dapat dikatakan kuat ketika mayoritas penduduknya berasal dari kalangan menengah. Mereka yang disebut kalangan menengah adalah kaum yang terdidik, mampu berpikir logis, serta cukup sandang pangan dan papannya.
”Kita tidak bisa menutup mata kalau Indonesia masih belum punya masyarakat kelas menengah yang kuat. Selama ini masih banyak masyarakat kita yang berada di tingkatan low (bawah, Red),” jelasnya.
Kedua, mampu mengelola demokrasi. Tito menilai bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang sangat bagus. Demokrasi sanggup menciptakan sistem pemerintahan yang kuat dan seimbang. Masyarakat juga memiliki potensi lebih besar menentukan arah negara.
Akan tetapi. terdapat dampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Kondisi tersebut berpeluang menimbulkan konflik. Paham radikal, misalnya. Kemudian, politik dan segelintir orang yang menggunakan isu agama dalam berbagai hal sehingga berpotensi menimbulkan gangguan keagamaan.
”Kebhinekaan dan Pancasila itu sudah sangat dinamis. Tidak bisa diganggu gugat. Kebhinekaan mengajak semua pihak terutama umat Islam untuk menjaga bangunan NKRI,” tegasnya.
Ketiga, lanjut Tito, pentingnya nilai-nilai kebersamaan. Nah, selama ini pesantren memiliki peranan sangat penting. Termasuk menjaga kebersamaan dan keharmonisan. Ditemui awak media usai memberikan sambutan, Tito menjelaskan, silaturahmi merupakan sesuatu yang wajib baginya. Dia bersama rombongan akan terus melakukan safari serupa ke berbagai daerah di seluruh Indonesia. Tito enggan menanggapi isu-isu hukum yang sedang terjadi.
“Kakek saya itu lulusan (Ponpes) Tebuireng, jadi Mbah saya itu NU,” katanya.
Baca Juga : Ikuti Acara Tadarus Dengan Anak Yatim, Ketua MPR : “Saya Juga Dulu Hidup Jadi Anak Yatim”
“Penegakan hukum ada acara sendiri. Beda ya. Ini murni acara silaturahmi. Ini etika keagamaan,” ujar mantan Kapolda Metro Jaya itu.
(bimbim – hariando.com)