Jakarta – Polda Metro Jaya telah menangkap Sekjen FUI, Muhammad Al-Khaththat beberapa waktu yang lalu. Penangkapan tersebut langsung ditanggapi pedas oleh Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah. Terlebih lagi, penangkapan tersebut lantaran adanya dugaan makar dalam aksi 313.
Fahri menjelaskan bahwa pasal makar dalam mngkritik pemerintah sudah hilang. Menurutnya, saat ini menghina presiden saja bukan merupakan pidana otomatis, namun hanya menjadi delik aduan. Tidak bisa lagi seseorang dipidana lantaran menghina presiden jika presiden sendiri tidak melaporkannya.
“Karena presiden bukan lagi simbol, dia benda hidup. Simbol itu bendera, burung Garuda,” tegasnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (31/3/2017).
Mereka yang terseret pidana pun harus berdasarkan dari alat bukti permulaan yang cukup dan baru bisa dilayangkan panggil. Apabila dalam panggilan paksa pihak terkait tidak kunjung datang, baru pihak kepolisian melakukan tindakan untuk menangkapnya. Itupun harus membawa surat.
“Kecuali dia bawa parang, bawa senjata yang ditembakan ke atas sambil teriak ‘saya mau pergi bunuh presiden’, misalnya begitu. Nah itu boleh. Dilumpuhkan juga boleh. Itu namanya tangkap tangan. Alat bukti dan pelaku ada di satu tempat,” tutur Fahri.
Oleh karena itu, legislator asal NTB tersebut tidak sepakat dengan penangkapan para aktivis atau pimpinan FUI. Dikhawatirkan bahwa penangkapan yang dilakukan Polda Metro Jaya tersebut bersifat menakut-nakuti dan hanya untuk diajak negosiasi lalu dilepaskan begitu saja.
“Yang saya takut si Khaththat ini dipanggil cuma buat dimarah-marahin ‘lu jangan gitu lagi, kita dimarahin sama Bos nih’. Nggak boleh gitu,” sebutnya.
Fahri berpendapat bahwa langkah menculik, memaki-maki, diinterogasi, disiram air, diminta mandi tengah malah, atau kaki tangan dijepit besi, sudah lama ditinggalkan Indonesia. Kata dia, aksi demonstrasi biasa di dalam negara demokrasi. Kalau negara senyap, itu berada di negara otoriter seperti Korea Utara.
“Sekarang nggak ada lagi yang begituan,” serunya.
“Tau-tau orang ilang. Anda mau kayak gitu lagi? Saya nggak mau. Kalau Jokowi mau gitu lagi, silakan, saya nggak mau. Dan kalau dia mau kayak gitu, saya lawan dia,” ujar Fahri.
Di dalam demokrasi pula, pemerintah maupun pihak kepolisian katanya harus memiliki kuping tebal dengan banyaknya hujatan atau protes yang dilontarkan rakyat.
Baca Juga : Heboh, Gadis di Magetan Nekat Berpose Sensual di Depan Masjid
“Kalau kuping tipis jangan hidup di Indonesia. Suruh ke Korea Utara sana. Jadi rakyatnya Kim Jong-un, cocok dia itu. Begitu presiden lewat tepuk tangan,” pungkasnya.
(bimbim – www.harianindo.com)