Jakarta – Sikap dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkaut pemberhentian Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Ahmad Ishomuddin dari kepengurusan MUI dianggap otoriter. Pasalnya, MUI belum meminta klarifikasi langsung tentang pandangan Ishomuddin.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Ishomuddin menjadi saksi meringankan dalam sidang penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ishomuddin berpandangan Gubernur nonaktif DKI Jakarta itu tak bermaksud menodai agama saat menyebutkan Surah Al-Maidah ayat 51 kala memberikan sambutan di Kepulauan Seribu.
Ishomuddin juga menyebut jika Al-Maidah 51 sudah tidak relevan sebagai pedoman untuk memilih pemimpin. Selain itu, dia menyayangkan MUI yang terburu-buru mengeluarkan sikap keagamaan terkait dengan pernyataan Basuki.
“Saya menyadari betul dan sudah siap mental menghadapi risiko apa pun,” kata Ishomuddin kepada Media Indonesia, Jumat (24/3/2017), soal kesediaannya menjadi saksi dalam kasus Ahok.
Pemberitaan tentang pemberhentian ahli Ushul Fiqih IAIN Raden Intan Lampung tersebut muncul dari rapat pimpinan MUI pada Selasa (21/3/2017).
Alasannya selain karena menjadi saksi ahli dugaan penodaan agama, tetapi juga karena ketidakaktifan Ishomuddin di MUI selama ini.
Menurut intelektual Zuhairi Misrawi selaku muda Nahdlatul Ulama (NU), MUI seharusnya mau mendengarkan dan mengapresiasi perbedaan pendapat dalam internal organisasi.
“Saya kira itu menunjukkan MUI sangat otoriter,” kata Zuhairi di Jakarta, Sabtu (25/3/2017).
Baca juga: Ini Reaksi Anies Saat Ahok Disebut Warga Gubernur KW
“Kiai Ishom ialah Wakil Ketua Komisi Fatwa, dia tidak dimintai pendapat mengenai itu. Sikap MUI amat disayangkan, tanpa meminta klarifikasi terlebih dahulu dalam kasus Ahok. Itu merupakan kecerobohan dan itu yang disampaikan Kiai Ishom di pengadilan,” tambah Zuhairi. (Yayan – www.harianindo.com)