Jakarta – Kini pihak pemerintah terus berusaha keras untuk menaikkan nilai tambah hasil mineral dalam negeri. Salah satu caranya yakni meminta perusahaan tambang yang beroperasi di dalam negeri harus mengolah mineral melalui pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter.
Diketahui bahwa pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang yang telah disahkan pada 2009 lalu yakni UU Nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara. Dalam UU tersebut, perusahaan tambang harus membangun smelter dalam waktu 5 tahun setelah berlakunya UU minerba tersebut. Oleh sebab itu, perusahaan tambang diwajibkan memiliki smelter pada tahun 2014.
PT Freeport Indonesia juga menjadi perusahaan tambang yang diwajibkan membangun smelter. Diketahui bahwa Freeport memang memiliki smelter yang berada di Gresik, Jawa Timur. Namun, kapasitas produksi smelter tersebut hanya mencapai 300.000 ton saja per tahunnya.
Kapasitas tersebut tentut tak bisa menutupi produksi mineral mentah Freeport yang mencapai 2 juta ton per tahun. Oleh sebab itu, sisa produksi yang tak bisa diolah di smelter harus diekspor dan diolah di luar negeri.
Bahkan, hal tersebut masuk ke dalam salah satu poin renegosiasi pemerintah dengan perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut. Meskipun diwajibkan, Freeport belum juga membangun smelter atau penambahan kapasitas smelter yang ada.
Baca Juga : Dihadapan Anies, Habib Rizieq : “Beliau Sejalan Dengan Kita”
Hingga kini, Freeport mendapatkan izin ekspor mineral dari pemerintah. Sebagai kompensasi, perusahaan penghasil emas tersebut harus membayar bea keluar yang ditetapkan sebesar 2,5 persen. Pemerintah pun sudah memberikan enam kali perpanjangan izin ekspor kepada Freeport. Perpanjangan kontrak tersebut berakhir pada 11 Januari 2017. Polemik perpanjangan izin ekspor ini menjadi bola liar dalam pengelolaan tambang dalam negeri.
(bimbim – www.harianindo.com)