Jakarta – RIP kepanjangan dari Requiescat in pace merupakan bagian dari aqidah Katholik, biasa terdapat pada epitaf dan disenandungkan saat Misa Requiem. Keyakinan ini juga terdapat pada agama Yahudi. Epitaf RIP ditemukan pada nisan Bet Shearim, Yahudi, meninggal 1 Abad Sebelum Masehi.
Hasil pantauan HArRest in Peace dalam bahasa Inggris, variasi lainnya adalah Requiescat in pace, penambahan kata “may (semoga)”. Ini terkait keyakinan dosa ditebus. Ungkapan RIP dalam bentuk ringkas maupun panjang digunakan pada upacara pemakaman tradisional Yahudi. Apa pijakannya? Talmud kuno. RIP dalam bahasa Inggris, yakni rest in peace, tak ditemukan pada kuburan sebelum abad VIII Masehi. Meluas penggunaannya setelah abad XVIII.
Ungkapan RIP pada agama Katholik terdapat dalam Misa Requiem (Missa pro Defunctis) yang merupakan bagian dari ritus Tridente. Paus (Emeritus) Benediktus XVI menyatakan Ritus Tridente (Tridentin) merupakan bentuk misa yang luar biasa. Ia keluarkan surat edaran tahun 2007. Ini merupakan surat pribadi (motu proprio) kepada seluruh gereja untuk menggunakan Misa Tridentin. Surat ini bermakna penegasan bahwa ungkapan RIP merupakan bagian tak terpisahkan.
Motu proprio (surat pribadi dengan tanda-tangan pribadi) Paus Benediktus XVI (sekarang emeritus) menegaskan kedudukan misa yang melembaga sejak 1570 tersebut. RIP merupakan bagian penting sebagai semacam “pembersihan dosa secara keseluruhan”. Dalam hal ini menurut penulis Fauzil Adhim, kedudukan RIP saat misa serupa dengan ungkapan “Allahummaghfirlahu…”. Jadi, ini merupakan bagian dari prosesi ibadah. Tentu saja tak sama persis. Dalam Islam, seorang syaikh tak memiliki otoritas penghapusan dosa dan penentuan nasib seseorang jadi ahli surga.
Orang yang sudah diupacarai dengan misa dimana pernyataan RIP ada di dalamnya, dianggap sudah “bersih” dari dosa. Sudah ditebus. Jadi, ungkapan RIP memang tidak dapat dibenturkan dengan kalimat istirja’ (إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُونَ) karena memang sangat berbeda kedudukannya. Ungkapan yang berdekatan, tapi amat berbeda konsep dasarnya dengan istirja’ adalah “telah berpulang ke rumah bapa…”.
Tolong, cermati dengan baik agar tidak menyamakannya.
Lalu bagaimana dengan kalimat innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un? Kalimat ini bukanlah kalimat doa, kalimat ini juga tidak bermaksud mengirimkan doa orang meninggal, melainkan zikir biasa yang dikaitkan bila ada yang meninggal (padahal milik Allah tidak hanya nyawa manusia).
“Eh yang meninggal kan bukan Islam, kenapa ngucap ‘innalillahi’?
Jika yang meninggal itu orang yang beragama apapun, tidak jadi soal dan tidak perlu dibuat pusing.
Kenapa?
Sebab makna kalimat di atas hanyalah ungkapan bahwa kita ini semua milik Allah dan kita pasti akan kembali kepada-Nya. Bahwa seorang mati dalam keadaan beriman atau tidak beriman, itu urusan “elu-elu, gue-gue”.
Jika lafaz itu tidak bermakna doa, tentu tidak jatuh larangan. Akan tetapi bila diteruskan dengan ungkapan lain, seperti: “semoga arwah diterima di sisi Tuhan”, tentu saja haram hukumnya. Sebab kenapa? Siapapun yang meninggal bukan sebagai muslim, sudah pasti arwahnya tidak akan diterima Allah. Tapi bukan gentayangan, melainkan tidak diterima sebagai hamba yang baik, sebaliknya diterima sebagai hamba yang kafir.
Allah berfirman:
Dan permintaan ampun dari Ibrahim untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (QS. At-Taubah: 114)
Lantas bagaimana jika menggunakan kalimat “Semoga arwahnya tenang di sisi-Nya”?
Baca juga: Pemuda Mualaf Ini Mengakui Ibadah Islam Sangat Erat Dengan Nilai Kekeluargaan
Tentu saja tidak boleh. Sebab dalam pandangan aqidah Islam, seorang yang mati dalam keadaan kafir (non-muslim), arwahnya tidak akan tenang. Sebab mereka harus berhadapan dengan malaikat azab. Jadi tak layak kalau dimakamnya ditulis: RIP (rest in peace). RIP mungkin lebih tepat diganti RIF. Rest in Fire. (Yayan – www.harianindo.com)