Jakarta – Cerita humor yang melibatkan seseorang bernama Mukidi menyebar secara viral di media sosial sejak Jumat (26/8/2016) pagi. Dalam cerita itu, Mukidi dikisahkan sebagai sesosok aki-laki dari Cilacap yang cerdas, kocak, dan menggemaskan.
Efek dari viralnya cerita tersebut sampai juga ke telinga seseorang yang bernama sama, Mukidi. Bedanya, laki-laki berusia 42 tahun ini merupakan seorang pejuang lingkungan dari lereng Gunung Sumbing, Jawa Tengah.
Sepuluh tahun lalu, daerah lereng Gunung Sumbing banyak lahan kritis. Melihat kondisi tersebut, Mukidi tergerak untuk menghijaukan kembali lahan gersang di daerahnya, Wonotirto.
Laki-laki ini lalu mengajak teman-teman sesama petani untuk mengubah cara bercocok tanam yang dilakukannya secara turun-temurun . Selama ini para petani hanya menanam satu jenis tanaman berdasarkan musim. Mukidi mengenalkan sistem bercocok tanam dengan tumpang sari.
Selain menanam tanaman musiman seperti cabai atau tembakau, lahan-lahan petani juga ditanami tanaman keras seperti kopi atau durian.
Melalui telepon, laki-laki yang pernah menjadi nomine Liputan6 Awards ini mengatakan, selain ingin menyelamatkan lahan kritis, ia juga ingin mewujudkan petani mandiri di daerahnya. Usahanya itu bukan tanpa tantangan. Menurut dia, petani tak paham konsep yang ia tawarkan, tapi mereka hanya melihat fakta.
Oleh karena itulah, sejak empat tahun lalu Mukidi berusaha memberi contoh kepada para petani di sekitarnya, mulai dari bercocok tanam secara tumpang sari dan dengan menanami kopi, mengolah hasilnya, sampai menjualnya dalam bentuk kemasan.
Perjuangan Mukidi selama empat tahun kini telah membuahkan hasil. Saat ini Mukidi telah berhasil menjual kopinya dengan merek “Kopi Mukidi”. Namun sampai saat ini Mukidi baru bisa melayani pemesanan secara online melalui akun Twitter dan Instagramnya @kopimukdi
Setiap harnya, Mukidi tidak pernah lelah mengajak para petani yang dijumpainya untuk mengikuti jejaknya. Ia pun tak segan memberikan workhshop atau pelatihan bagaimana menjadi seorang petani yang mandiri, sehingga tingkat ekonominya membaik.
Tidak hanya kepada para petani, ia pun berkolaborasi dengan salah satu sekolah menengah mengkampanyekan cara memelihara lingkungan dengan melakukan penghijauan dan bercocok tanam tumpang sari. Melalui akun media sosial ia mengajak kepada semua follower-nya untuk melakukan hal yang sama.
Menanggapu candaan “Mukidi” yang viral, ia mengaku merasa geli. Banyak rekan dan handai taulan yang me-mention dirinya di Twitter, tapi lebih banyak yang menyapanya melalui Whatsapp.
“Saya ambil hikmahnya aja. Saya tidak pernah berprasangka buruk kepada orang. Semua orang berhak bicara dan yang mereka maksud toh juga bukan saya, ” tutupnnya. (Yayan – www.harianindo.com)