Jakarta – Per 1 April 2016, ada kebijakan baru. Yakni, iuran Jamminan Kesehatan Nasional (JKN) naik 19–24 persen. Hal tersebut sesuai dengan kebijakan baru Pemerintah tentang Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016.
Besaran iuran kelas I dari Rp 59.500 menjadi Rp 80 ribu, kelas II dari Rp 42.500 menjadi Rp 51 ribu, dan iuran kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 30 ribu. Perpres tersebut pun telah diterbitkan.
Koordinator Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch Jatim Jamaludin menolak kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini. ”Kami jelas menolak kenaikan iuran JKN yang berkisar antara 19 persen hingga 34 persen karena dinilai tidak pro rakyat. Karena pelaksanaan JKN pada aspek pelayanan di beberapa rumah sakit belum berjalan dengan baik,” katanya kepada media pada Senin (14/3/2016).
Menurut Jamaludin, pelayanan di beberapa rumah sakit masih ditemukan banyaknya penolakan dan meminta untuk membayar sejumlah administrasi di awal maupun biaya pengobatan lainnya. Selain itu, ketidak tepatan sasaran akan kepesertaan warga miskin dan minimnya kepesertaan pekerja atau buruh.
”Adanya permasalahan kebocoran dalam pembayaran klaim rumah sakit maupun kapitasi yang didistribusikan, kepada puskesmas atau klinik yang tidak digunakan sepenuhnya untuk program promotif dan preventif kesehatan, menjadi beberapa penyebab bahwa kenaikan iuran JKN harus dikaji lebih lanjut agar tidak semakin membebani masyarakat,” jelasnya.
Kenaikan iuran ini, dinilai makin membebani dan merugikan rakyat, bukan menjadi solusi.
”Terkait dengan Perpres Nomor 19 Tahun 2016, kami menyatakan sikap menolak kenaikan iuran JKN, mendesak pemerintah dan BPJS memperbaiki sistem pelayanan kesehatan yang lebih akses terhadap rakyat, mendesak pemerintah memperbanyak fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan agar mutu dan kualitas layanan kesehatan semakin meningkat,” tutupnya. (Tita Yanuantari – www.harianindo.com)