Jakarta – Sejak Presiden Jokow Widodo (Jokowi) secara resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, kondisi nilai tukar rupiah terus mengalami tren negatif. Tren tersebut bahkan diprediksi akan terus berlanjut sampai akhir 2015.
Sejak ditutup Senin (24/8) lalu, kurs rupiah menyentuh angka Rp 14.000 terhadap USD 1. Angka ini telah mendekati kondisi rupiah di saat krisis moneter menghantam Indonesia pada 1998 lalu. Pada Januari 1998, rupiah sempat bernilai Rp 14.800 per USD 1, dan paling parah pernah terjadi pada Juni 1998, di mana USD 1 senilai Rp 16.800.
Namun, angka rupiah pada era tersebut kemudian berhasil dikendalikan oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Ia berhasil menekan rupiah dari belasan ribu hingga berada di bawah Rp 7.000 jelang akhir masa pemerintahannya.
Habibie, yang diangkat menjadi presiden setelah Soeharto memutuskan mundur dari jabatannya, memang berusaha keras agar nilai tukar rupiah tak terus merosot. Berbagai cara pun dilakukannya agar rupiah kembali menguat.
Selain mengalami tekanan dari dalam negeri, Habibie juga harus menghadapi dengan intervensi ekonomi yang dipaksakan International Monetary Fund (IMF). Lembaga moneter ini memaksa Indonesia menghapus kebijakan subsidi, terutama BBM (bahan bakar minyak) dan TDL (tarif dasar listrik). Namun, tekanan IMF tersebut ditangkal oleh Habibie.
Ketika itu, Habibie mempertahankan agar harga BBM bersubsidi agar tetap terjangkau oleh rakyat yang terpuruk akibat krisis. Harga Premium saat itu dipatok Rp 1.000, dan Solar Rp 550. Keputusan ini mendapatkan kritik tajam dari IMF.
Kala itu, Habibie mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk membangkitkan perekonomian nasional. Langkah pertamanya adalah melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan dengan membentuk BPPN dan unit Pengelola Aset Negara, kemudian dilanjutkan dengan melikuidasi beberapa bank bermasalah.
Dia juga membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri, dan mengimplementasikan reformasi ekonomi sebagaimana disyaratkan IMF. Untuk mendukung seluruh kebijakannya, dia mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat dan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Menurut Analis Millenium Penata Futures, Suluh Adil Wicaksono, upaya ini cukup berhasil karena Habibie tidak menganut sistem pasar bebas. Hasilnya, laju dolar pun berhasil ditekan.
“Kalau pemerintahan Presiden Habibie Rp 12.000 per dolar, mau dipatok Rp 8.000 per dolar. Jadi enggak menganut pasar bebas seperti negara-negara Amerika Latin, berhasil ditekan suku bunga di kisaran 10 persen,” ujar dia, Kamis (11/6) lalu.
Upaya-upaya tersebut pada akhirnya sukses membuat rupiah terus menguat terhadap dolar. Bahkan, ketika Habibie menyampaikan laporan pertanggungjawaban di hadapan MPR, nilai rupiah saat itu sudah berada di level Rp 6.500, suatu pencapaian yang belum bisa disamai oleh presiden setelahnya.
Lalu, bagaimana dengan Presiden Jokowi? Apakah presiden yang mengusung jargon ‘Revolusi Mental’ ini berhasil membangkitkan kembali perekonomian Indonesia, yang berujung pada menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar? (Galang Kenzie Ramadhan – www.harianindo.com)