Al-Sisi berhasil menyabet 96,9% suara, sementara lawan satu-satunya, seorang politikus berhaluan kiri, Hamdeen Sabahi, hanya memperoleh 3,1% suara. Menyambut sukses ini, pendukung al-Sisi diekspektasikan akan membanjiri Lapangan Tahrir di Kairo untuk merayakan kemenangan tersebut.
Pengamat politik Mesir mengatakan bahwa purnawirawan berusia 59 tahun ini menjabat di masa dimana Mesir telah mengalami krisis persatuan. Jika al-Sisi tidak bisa segera menyelesaikan masalah ini dalam satu atau dua tahun ke depan, maka aksi protes pun tak bisa terelakkan, seperti yang dialami para pendahulunya.
Dalam sebuah siaran TV lokal, al-Sisi menyampaikan bahwa dirinya menginginkan kebebasan dan keadilan sosial. Dia juag mengatakan bahwa saat ini adalah waktunya bekerja. Pemerintahan Mesir di bawah pimpinan al-Sisi juga akan menghadapi tantangan perbaikan ekonomi, pengurangan angka kemiskinan, dan mencegah terjadinya kembali krisis politik.
Al-Sisi dianggap berjasa besar bagi Mesir karena membantu pelengseran Presiden Mesir terdahulu, Mohammed Morsi, pada sekitar Juli 2013 lalu. Pihak pendukung al-Sisi pun telah lama berseteru dengan organisasi Persaudaraan Muslim, yang mendukung Morsi. Kelompok ini memutuskan untuk memboikot pemilu.
Adapun aktivis liberal dan sekuler, termasuk di antaranya mereka yang terlibat dalam gerakan pemuda 6 Juli juga memutuskan untuk tidak mengikuti pemilu. Gerakan pemuda 6 Juli ini berperan besar dalam penggulingan Presiden Hosni Mubarak. Mereka memutuskan golput karena mensinyalir adanya pelanggaran HAM dalam pemilu kali ini. (Galang Kenzie Ramadhan – www.harianindo.com)