Tokyo – Pemerintahan Jepang membentuk tim pencari fakta untuk meneliti kasus yang pertama kali mencuat pada 1993 namun menghangat kembali, yaitu kasus praktek perbudakan sex yang dilakukan tentara-tentara Jepang pada Perang Dunia II, saat Jepang menginvasi beberapa negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Seperti dilansir dari BBC (Jumat, 28/2/2014), Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshihide Suga, mengatakan bahwa tim tersebut akan melakukan penelitian kembali dan mencoba mencari tau latar belakang kejadian tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya, kurang lebih 200.000 perempuan yang hidup di wilayah-wilayah yang diduduki Jepang saat Perang Dunia II dipaksa untuk melayani nafsu bejat para tentara Jepang yang berada di wilayah tersebut. Adapun pemberitaan tersebut pertama kali mencuat pada 1993, ketika mantan Sekretaris Kabinet Jepang, Yohei Kono, mengakui adanya praktik tersebut, yang bahkan diduga dilakukan secara sistematis, dengan membangun semacam “sistem” rumah pelacuran. Pernyataan Kono waktu itu juga sempat diamini oleh 16 perempuan Korea Selatan yang juga membeberkan beberapa buktinya. Beberapa wilayah yang mendapat perlakuan tersebut antara lain China, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, dan Indonesia.
Terkait pemberitaan itu, politikus konservatif Jepang berpendapat bahwa perempuan-perempuan tersebut adalah memang pekerja seks komersial. Pernyataan tersebut tentu langsung ditentang oleh korban, yang tentu sudah berusia lanjut, serta keluarga-keluarganya.
Tidak jelas kemana arah penelitian ulang ini, dan untuk tujuan apa. Banyak pengamat mengatakan bahwa jika tujuannya hanya untuk menyusun “statement” baru, yang tampaknya bakal ditujukan untuk meringankan tuduhan kepada pihak Jepang sendiri, maka hal tersebut tak ubahnya seperti “cari-cari alasan” semata, dan lebih jauh, berpotensi menyulut amarah dari negara-negara sahabat. Mengingat ketergantungan Jepang terhadap hubungan luar negeri sangat tinggi. (Galang Kenzie Ramadhan – www.harianindo.com)