Washington – Pernyataan mengejutkan keluar dari Washington. Amerika Serikat baru-baru ini menyatakan bahwa pemukiman Yahudi Israel di Tepi Barat tidak melanggar hukum internasional. Pernyataan ini muncul setelah dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, AS sempat memandang pemukiman tersebut ilegal.
Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo. Ia mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak memandang adanya ketidakselarasan antara pembangunan pemukiman dengan hukum internasional yang berlaku.
“Setelah menelaah perdebatan hukum dari semua pihak secara cermat, Amerika Serikat menyimpulkan bahwa pembangunan pemukiman sipil oleh warga Israel di Tepi Barat tidak bersifat inkonsisten dengan hukum internasional,” ungkap Mike Pompeo.
“Menyebut pembangunan pemukiman sipil tidak konsisten dengan hukum internasional tak berhasil. Langkah tersebut tak membuat perdamaian mengalami kemajuan,” lanjutnya.
Pernyataan disambut positif oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang menyebut langkah AS tersebut “meluruskan kesalah kaprahan sejarah”. Akan tetapi, sejumlah aktor internasional mengkritik langkah AS tersebut.
Uni Eropa yang sedari awal memandang pemukiman Israel di Tepi Barat sebagai praktik ilegal tetap bersikukuh dengan pandangannya. Lembaga supranasional di Eropa itu mengimbau agar Israel menghentikan proyek pembangunan tersebut.
“Uni Eropa menyerukan kepada Israel untuk menghentikan semua aktivitas pemukiman, sejalan dengan kewajiban mereka sebagai pihak yang menduduki.” kata Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini.
Sementara itu, Palestina bereaksi keras terhadap keputusan AS tersebut. Hanan Ashrawi, negosiator senior Palestina dan anggota Komite Eksekutif PLO, memandang hal tersebut sebagai tamparan keras bagi hukum internasional, keadilan dan perdamaian.
Nabil Abu Rdeneh, Juru Bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, memandang bahwa pernyataan AS tersebut sekaligus mengikis kredibilitas Paman Sam dalam perannya sebagai perunding perdamaian.
“Pemerintahan AS saat ini sudah kehilangan kredibilitas untuk berperan dalam perundingan damai di masa depan.” ujar Nabil Abu Rdeneh. (Elhas-www.harianindo.com)