Jakarta – Terkuak bahwa selama ini, biaya kesehatan tertinggi yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan adalah penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan merokok. Hal itulah yang menjadi salah satu faktor membengkaknya dana yang ditanggung fasilitas jaminan kesehatan tersebut.
Berbagai cara telah ditempuh oleh pemerintah untuk menekan jumlah angka perokok di Indonesia, khususnya remaja dan warga miskin. Salah satunya adalah menaikkan harga cukai dan eceran rokok yang berlaku mulai 1 Januari 2020.
Selain itu, wacana mengenai pencabutan bantuan bagi peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) dari warga miskin yang merokok juga mulai dibahas. Deputi Direksi Bidang Kepesertaan BPJS Kesehatan, Bona Evita mengatakan bahwa pihaknya masih mendiskusikan wacana tersebut dengan pemangku kebijakan.
“Orang yang merokok kok masih dibayarin oleh BPJS Kesehatan misalnya. Kita kembali lagi mengacu kepada bagaimana kriteria penerima PBI tadi. Tapi untuk yang merokok ini mungkin masih perlu dikomunikasikan kepada stakeholder yang terkait,” ujar Bona Evita beberapa waktu lalu.
Merujuk pada peraturan yang berlaku, warga fakir miskin yang telah diatur ketetapannya oleh Menteri Sosial merupakan golongan yang menerima bantuan PBI. Penerima PBI tersebut nantinya akan diperiksa validasinya setiap enam bulan sekali.
Di lain pihak, Planning and Policy Specialist dari CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) dr Yurdhina Meilissa sebelumnya mengungkap adanya kecenderungan peningkatan angka perokok di keluarga miskin. Hal tersebut bersumber pada hasil riset dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia.
“Orang miskin merokok pakai uang apa? Jadi waktu itu penelitian menyimpulkan bahwa uang bansos (bantuan sosial) kita dipakai untuk rokok. Nah kemudian muncul usulan yang sama bagaimana kalau kita memasukkan rokok dalam eligibilitas penerima bansos,” ujar dr Meilissa. (Elhas-www.harianindo.com)