Jakarta- Wacana wisata halal di kawasan Danau Toba, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sempat dinyatakan oleh Gubernur Sumut Edy Rahmayadi. Namun banyak yang tidak menerima wacana tersebut lantaran mereka merasa khawatir akan menghilangkan identitas dan budaya lokal di sana, salah satunya terkait kuliner babi.
Kepala Bidang Bina Pemasaran Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut, Muchlis, mengungkapkan bahwa wisata halal bisa berjalan secara beriringan dengan kearifan lokal yang ada. Hingga saat ini pun tidak ada pelarangan terkait makanan dari babi atau hal lainnya.
Konsep wisata halal yang dimaksud Pemprov Sumut adalah menyediakan fasilitas pendukung bagi wisatawan, termasuk muslim yang datang ke kawasan Danau Toba. Muchlis memaparkan bahwa konsep wisata halal sudah bergulir sejak lama dan bukanlah bentuk pembeda-bedaan masyarakat.
“Wisata halal dan kearifan lokal bisa berjalan berdampingan tanpa saling menghilangkan atau bersaing. Tidak kita larang itu (babi). Wisata halal beda dengan konsep wisata syariah. Wisata halal hanya sekadar memberi kebutuhan bagi wisatawan, wisata halal bukan berarti meniadakan, makanya kearifan lokal tidak terganggu,” jelas Muchlis, Senin (02/09)
Saat ini angka pengunjung dari negara sekitar Indonesia adalah yang terbanyak, seperti Malaysia, yakni berkisar 55 persen.
“Konsep tersebut juga dimaksudkan untuk mengambil pasar yang sedang bertumbuh saat ini, yakni wisata halal. Pada tahun 2018 saja jumlah wisatawan muslim mancanegara berjumlah 140 juta,” jelasnya.
Berdasarkan data Global Muslim Travel Index 2019 pada tahun 2026 diprediksi bahwa angka tersebut akan mengalami kenaikan lebih besar menjadi 230 juta. Diperkirakan juga, pemasukan dari wisatawan muslim mencapai US$ 300 juta pada ekonomi global.
Pada tahun 2019, Indonesia bertengger pada posisi pertama sebagai negara muslim tujuan wisata halal dunia dengan skor 78. Sementara untuk negara non-muslim, Singapura berada di peringkat pertama, disusul Thailand, Inggris, dan Jepang.
“Selama ini, sudah ada fasilitas untuk wisatawan muslim di Danau Toba. Namun fasilitas (amenitas) muslim yang ada, diperkirakan tidak mencukupi jika mengacu pada pemerintah pusat yang menargetkan 1 juta pengunjung,” ungkapnya.
Lantaran itu, katanya, untuk menghindari kesalahpahaman terkait konsep wisata halal tersebut, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut akan mengadakan pertemuan lebih lanjut dengan para kepala dinas pariwisata kabupaten kawasan Danau Toba.
“Selain itu, Pemprov Sumut juga akan mengadakan pertemuan dengan masyarakat terkait itu,” tegasnya.
Sebelumnya, puluhan massa yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Peduli Danau Toba melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Badan Pelaksana Otoritas Danau Toba (BPODT) dan Kantor Pemprov Sumut, Senin (02/09). Mereka tidak setuju dengan adanya konsep wisata halal yang diwacanakan Pemprov Sumut di kawasan Danau Toba.
Koordinator Aliansi Mahasiswa Peduli Danau Toba, Rico Simbolon membeberkan bahwa kedatangan massa untuk meminta klarifikasi pada BPODT dan Pemprov Sumut yang ingin mengembangkan konsep halal pariwisata Danau Toba.
“Kami menolak keras konsep wisata halal yang dinyatakan oleh Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi. Kami minta gubernur tidak meneruskan konsep wisata halal di Kawasan Danau Toba,” ujar Rico.
“Pemprov Sumut sudah ada dinas pariwisata, silahkan dinas pariwisatanya digenjot bagaimana mengembangkan Danau Toba tanpa menghilangkan identitas dan budaya masyarakat di sana.” sambungnya.
Menurutnya pernyataan Gubernur Sumut terkait dengan wisata halal di Danau Toba dapat memantik polemik di daerah yang sudah berdampingan dengan masyarakat beda suku dan agama di sana.
“Kami merasa, gubernur ini sengaja membuat isu itu agar mengkotak-kotakan masyarakat di daerah atau memang tidak ada konsep mengembangkan pariwisatanya. Kita jelas menolak konsep wisata halal itu. Takutnya ini menimbulkan perpecahan,” terang dia. (Hr-www.harianindo.com)