Jakarta – Kontroversi terkait dengan hukuman tambahan untuk predator anak di Mojokerto, Muhammad Aris yang berupa kebiri kimia kini masih menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Pasalnya, Ikatan Dokter Indonesia menolak menjadi eksekutor kebiri kimia ini lantaran melanggar norma etik.
IDI melalui Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr Daeng Muhammad Faqih menyatakan bahwa kebiri kimia dalam bentuk hukuman sudah banyak ditinggalkan di negara-negara lain. Sementara itu, kebiri kimia yang diterapkan berupa sebuah rehabilitasi yang dilakukan secara komprehensif.
“Kalau hukuman tidak ada ukuran sembuh atau tidak, kalau rehabilitasi endingnya sembuh. Kalau hukuman itu nanti kelar ya dilepas ke masyarakat belum tentu sudah sembuh, tapi kalau rehabilitasi pasti sampai dia dikatakan sembuh baru dilepas,” ungkapnya saat ditemui detikHealth di kantor pusat PB IDI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (29/08/2019).
dr Daeng melanjutkan bahwa tidak semua pelaku kejahatan seksual semata-mata dipengaruhi oleh faktor hormonal atau libido yang tinggi. Ada pula pelaku yang lantaran gangguan kejiwaan, di mana gangguan itu juga sebenarnya harus diobati.
“Kalau orang sakit jiwa dikasih hormonnya (kebiri kimia -red) dan merasa tersiksa sakit jiwanya, bukan sembuh malah bisa tambah parah. Yang ditakutkan para ahli dia malah lebih buas, lebih membahayakan ketika dilepas ke masyarakat,” paparnya.
Terkait dengan kebiri kimia dalam bentuk rehabilitasi ini, IDI sudah memberi masukan pada peraturan pelaksanaannya. Namun hingga kini, kebiri kimia masih ditetapkan sebagai bentuk hukuman.
Dalam bentuk rehabilitasi, dr Daeng mengungkapkan bahwa para pelaku kejahatan seksual di negara lain justru suka rela untuk dikebiri kimia lantaran merasa sadar bahwa mereka membutuhkan bantuan. dr Daeng juga percaya, jika kebiri kimia dalam bentuk rehabilitasi dapat membantu untuk menyembuhkan penyakit yang diidap. (Hr-www.harianindo.com)