Jakarta – Pasca terjadinya tsunami di Palu, masyarakat banyak yang bertanya-tanya soal alat deteksi dini tsunami di sana sehingga bencana bisa terjadi dan memakan korban jiwa ratusan orang, meski sempat diberlakukan peringatan potensi tsunami pasca gempa yang tidak lama kemudian dicabut.
Terkait hal ini, Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Hasanuddin Z Abidin mengungkapkan bahwa di wilayah Palu terdapat satu stasiun yang mengamati pasang surut di dermaga Kota Palu.
Stasiun tersebut mengirimkan data pasang surut ke BIG serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Namun demikian, stasiun tersebut sangat bergantung dari pasokan listrik untuk mengirimkan data.
“Stasiunnya persis di pinggir laut. Online pakai listrik. Sebelum gempa sebenarnya berfungsi tetapi begitu gempa komunikasi listrik mati,” jelas Hasanuddin, Minggu (30/9/2018).
“Yang jelas begitu listrik mati, data berhenti mengalir. Inilah tantangannya kalau alat tergantung listrik. Kita mengandalkan baterai cadangan tetapi ternyata juga tidak berfungsi,” tambahnya.
Bila stasiun pengamat pasang surut tidak berfungsi, petugas masih bisa bergantung dari buoy tsunami yang biasanya dipasang di lepas pantai. Namum menurut Hasanuddin, alat tersebut banyak hilang dicuri.
“Tapi yang saya tahu kita tidak punya buoy tsunami di Palu. Buoy tsunami juga punya masalah. Banyak yang hilang dicuri,” ungkap Hasan.
Karena itu, pelajaran penting terkait Tsunami Palu menurut Hasan, bagaimana melengkapi dan memperbaiki infrastruktur peringatan dini tsunami.
“Kita perlu buoy tsunami dan back up jika satu tidak berfungsi. Termasuk soal stasiun pasang surut, bagaimana bisa tetap beroperasi dengan baterai cadangan,” kata Hasan.
“Kita pun harus berpikir soal listrik yang tahan gempa. Setiap kali gempa listrik mati,” imbuhnya.
(samsul arifin – www.harianindo.com)