Jakarta – Terdakwa kasus ujaran kebencian, Asma Dewi, dianggap telah melakukan ujaran kebencian. Peristiwa tersebut terjadi pada 22 Juli 2016 silam pada akun Facebook Asma Dewi yang menyebarkan sebuah Video Primetime News tayangan Metro TV dengan judul “Mentan yakin impor jeroan stabilkan harga” dengan komentar “Edun.”
Selain itu, Asma Dewi juga mengunggah ulang dan menanggapi dengan komentar “Rezim koplak. Di luar negeri dibuang di sini disuruh makan rakyatnya.”
Lewat postingan tersebut Asma Dewi dianggap telah terbukti melanggar Pasal 28 Ayat 2 junto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU Nomor 19 tahun 2016 sebagaimana dalam dakwaan ke satu.
Asma Dewi awalnya dituntut dengan dua tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (06/02/2018). Jaksa Penuntut umum menganggap terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana.
Baca juga : Direktur SAS :”MCA Bukan Bagian Dari Penguatan Islam”
Jaksa Penuntut Umum Herlangga mengatakan terdakwa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Oleh karena itu dalam sidang putusan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 5 bulan 15 hari kurungan bagi Asma Dewi. Vonis hakim ini jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum sebesar 2 tahun kurungan dan denda Rp 300 juta subsider tiga bulan.
“Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah sehingga dijatuhi pidana dikurangi masa hukuman yang sudah dijalani,” kata Ketua Majelis Hakim Aris Bawono Langgeng di Gedung PN Jakarta Selatan, Kamis (15/03/2018).
Lewat vonisnya, Hakim Aris juga menyampaikan sejumlah pertimbangan untuk tetap menyatakan Asma Dewi bersalah. Salah satunya terkait penggunaan kata koplak yang dalam bahasa jawa berarti bodoh. Hakim menilai penggunaan kata tersebut bukanlah kritik, tapi sudah masuk penghinaan alat kelengkapan negara.
(Muspri-www.harianindo.com)