Jakarta – Keberadaan pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) tunggal akan membahayakan kelangsungan negara. Pasalnya, capres tunggal memiliki risiko besar jika kalah melawan kolom kosong dalam pemilu mendatang.
“Capres tunggal itu tidak sehat bagi demokrasi. Risikonya sangat besar. Sebab, jika kalah melawan kotak kosong, dalam arti tidak mencapai setengah plus 1 dan tidak menang di 18 provinsi, negara berada di pinggir jurang kehancuran,” ujar Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra pada Selasa (6/3/2018).
Hal tersebut, lanjut dia, disebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tidak bisa memperpanjang masa jabatan Presiden sebelumnya (Joko Widodo). Selain itu, MPR juga tidak bisa menetapkan pejabat presiden.
Sementara itu, triumvirat (dewan yang bersifat sementara memimpin negara jika terjadi kekosongan kekuasaan) pun telah habis masa jabatannya. “Negara berada di ambang keruntuhan dan potensial chaos karena menghadapi krisis konstitusi yang tidak ada jalan keluarnya,” tutur Yusril.
Dirinya mengkritisi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang disebutnya hanya mementingkan segelintir pihak. “Tanpa berpikir panjang bagaimana menjaga negara agar tidak terjerumus ke arah keruntuhan. Karena itu, lebih baik PBB jadi partai oposisi,” tegasnya.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengatakan, potensi keberadaan pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) tunggal di Pilpres 2019 mungkin terjadi. Hasyim menjelaskan, jika ada sejumlah hal yang mempengaruhi kondisi ini.
Baca juga: Pemprov DKI Dapat Dana Rp 360 M untuk Tata Sudirman-Thamrin
Menurut Hasyim, Pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, menyatakan parpol yang dapat mencalonkan Capres-Cawapres hanya merupakan Parpol peserta pemilu sebelumnya. “Itu berartikanparpol peserta Pemilu 2014. Parpol baru tidak bisa mencalonkan,” ujar Hasyim kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat. (Tita Yanuantari – www.harianindo.com)