Jakarta – Tim Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri masih mendalami kasus penangkapan anggota Muslim Cyber Army (MCA) untuk mengetahui apakah ada kaitan MCA dengan pihak-pihak lainnya.
Menurut Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Fadil Imran, pihaknya saat ini sedang menyelidiki sumber dana operasional kelompok MCA.
“Akan didalami lagi untuk mengetahui bagaimana korelasi dengan pihak lain,” ujar Fadil di gedung Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim, Cideng, Jakarta Pusat, Rabu (28/2/2018).
Termasuk dalam hal ini pihak-pihak yang diduga memesan atau menggunakan jasa MCA dalam membuat dan menyebarkan berita hoax dan ujaran kebencian.
“Siapa yang order, adakah kaitannya dengan ormas atau organisasi dan parpol apapun, kasih kami waktu,” tegas Fadil.
“Siapa yang menyuruh dan dari mana mendapat modal, itu juga masih kami dalami,” tambahnya.
Sebelumnya, polisi menangkap enam anggota Muslim Cyber Army di sejumlah kota secara serentak pada Senin (26/2/2018).
Mereka yang tertangkap yakni:
1. Muhammad Luth (40) yang ditangkap di daerah Sunter, Jakarta Utara. Memiliki peran menyebarkan ujaran kebencian (SARA), membuat akun anonim (akun palsu) dengan identitas palsu serta menyiapkan virus untuk disebarkan.
2. Riski Surya Darma (37) yang ditangkap di Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Memiliki peran menyebarkan ujaran kebencian (SARA) dan menyebarkan virus.
3. Ramdani Saputra (39) yang ditangkap di Jembrana, Bali. Berperan menyebarkan ujaran kebencian (SARA) dan juga menyebarkan virus.
4. Yuspiadin (25) ditangkap di Sumedang, Jawa Barat. Berperan sebagai penyebar ujaran kebencian (SARA) sekaligus menyebarkan virus.
5. Ronny Sutrisno ditangkap di Palu, Sulawesi. Berperan sebagai pencari akun lawan yang akan di take down dan juga menyebarkan virus.
6. Tara Arsih Wijayani (40) ditangkap di Jakarta Utara. Berperan sebagai penyebar ujaran kebencian dan berita bohong serta menyebarkan virus.
Kelompok MCA diduga menyebarkan berita hoax, termasuk soal kebangkitan komunis, dan penculikan ulama, menyebarkan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik pejabat tinggi negara, termasuk presiden.
Akibat perbuatannya, mereka diancam dengan Pasal 45A Ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahab Atas UU Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan atau Pasal Jo Pasal 4 huruf B angka 1 UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan atau Pasal 33 UU ITE dengan pidana penjara 6 tahun dan denda Rp1 milliar.
(samsul arifin – www.harianindo.com)