Jakarta – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan bahwa demokrasi tetap merupakan pilihan yang terbaik bagi Indonesia sebagai sistem penyelenggaraan kehidupan berbangsa yang majemuk.
“Kelembagaan demokrasi telah berjalan dan sampai ke titik yang tak bisa mundur lagi,” kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam Muhasabah 2017 dan Resolusi 2018 PBNU di Jakarta, Rabu (3/1/2018).
Namun, PBNU mencatat mekanisme demokrasi juga menghasilkan dua ekses yang merusak demokrasi yang memerlukan perhatian serius, yakni politik uang dan eksploitasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Keduanya adalah bentuk kejahatan yang terbukti bukan hanya menodai demokrasi, tetapi mengancam Pancasila dan NKRI,” kata Said Aqil.
Menurut dia, politik uang merusak legitimasi, sedangkan politik SARA merusak kesatuan sosial melalui sentimen primordial yang mengoyak anyaman kebangsaan yang telah susah payah dirajut oleh para pendiri bangsa.
“Pilkada DKI 2017 masih menyisakan noktah hitam bahwa perebutan kekuasaan politik dapat menghalalkan segala cara yang merusak demokrasi dan menggerogoti pilar-pilar NKRI,” katanya.
Pengalaman Pilkada DKI harus menjadi bahan refleksi untuk mawas diri. Demokrasi harus difilter dari ekses-ekses negatif melalui literasi sosial dan penegakan hukum.
Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam penyelenggaraan demokrasi yang sehat tanpa politik uang dan sentimen primordial. Aparat penegak hukum harus kredibel dan andal dalam penegakan hukum terkait kejahatan politik uang dan penggunaan sentimen SARA.
“Ini penting karena pada tahun 2018 dan 2019, Indonesia akan memasuki tahun-tahun politik. Tahun 2018 akan digelar pilkada serentak di 171 daerah. Tahun 2019 akan digelar hajatan akbar, yaitu Pilpres dan Pileg serentak,” katanya. (Tita Yanuantari – www.harianindo.com)