Jakarta – Kenaikan harga bahan pangan di Indonesia setiap menjelang bulan Ramadhan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah penguasaan dan pengaturan harga oleh para distributor besar.
Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Brigjen Agung Setya, kenaikan harga yang tidak terkendali disebabkan karena rantai distribusi hanya dikuasai oleh segelintir distributor besar.
Agung kemudian mencontohkan bagaimana harga cabai menjadi tidak terkendali padahal jumlah petani cabai mencapai jutaan orang, dan tengkulak mencapai ratusan ribu orang.
“Tahu kan berapa orang yang ada di tahapan distributor besar komoditas ini? Hanya tujuh orang,” ungkap Agung.
Karena hanya dikuasai oleh tujuh orang maka rantai distribusi dan harga ke pasar dan eceran menjadi mudah untuk dikendalikan, termasuk pengalihan pasokan dari pasar ke industri. Hal itu menjadi keputusan dari ketujuh distributor tersebut.
“Mereka mengambil untung tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat,” cetusnya.
Monopoli dan permainan harga tersebut sangat rentan terjadi bila komoditas pangan hanya dikuasai oleh segelintir orang.
Selain itu menurut Agung, maraknya pungutan liar (pungli) juga membuat harga bahan makanan menjadi meroket.
“Pungli ini terjadi di Pasar Induk Kramat Jati,” katanya.
“Setelah dicek, pungli ini bisa menaikkan harga bawang putih sekitar Rp 8 ribu hingga Rp 10 ribu per kilogram,” ungkap Agung.
Pendapat berbeda dikatakan oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Tjahya Widayanti. Menurut Widayanti, kenaikan harga menjelang puasa dan Idul Fitri memang tidak dapat dihindari karena tingginya permintaan.
“Data historis 2013 sampai 2016 menunjukkan, menjelang bulan puasa, terjadi kenaikan harga beberapa barang kebutuhan pokok. Misalnya daging sapi, daging ayam, dan telur ayam yang naik 0,97 hingga 9,6 persen,” jelas Widayanti.
(samsul arifin – www.harianindo.com)