Jakarta – Ismail Al Anshori adalah pegawai magang di Pemprov DKI Jakarta era kepemimpinan Basuki Tjahjaa Purnama. Ismail mendapat tugas khusus dari Ahok, yakni untuk mengawasi APBD DKI Jakarta.
Ia mulai magang bersama Ahok tertanggal Oktober 2015. Usai magang, lulusan S2 jurusan Studi Pembangunan ITB itu pun menerima tawaran menjadi staf. Selama melototi APBD dirinya menemukan ‘dana-dana siluman’.
Pada Rabu kemarin, Ismail pun membuat heboh media sosial karena tulisannya di Facebook. Hingga pukul 18.30 WIB, tulisan sudah 14.933 kali dibagikan. Sudah ribuan orang berkomentar.
“Sebenarnya banyak staf gubernur yang lain nulis juga loh. Nah saya enggak tahu kenapa yang saya saja jadi viral,” ungkapnya kepada awak media di Balai Kota DKI, Rabu (10/5/2017).
Lewat statusnya itu, Ismail banyak membeberkan modus masuknya dana siluman, kemarahan Ahok ketika rapat, sampai adanya ‘uang bensin’ untuk warga setiap ada acara.
Berikut tulisan lengkap Ismail:
Saya pernah ditegur oleh Bapak (di Balai Kota kami menyebut Pak Ahok dengan “Bapak”). “Ismail, lu ngga perlu marah-marah. Kalo nemu sesuatu, lu kasih ke gue aja biar gue yang tangani.” Teguran tersebut dilayangkan ke saya tanggal 26 November 2015 jam 5 pagi melalui Whatsapp. Ketika itu Pemprov DKI Jakarta sedang heboh penyisiran anggaran.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah ada Gubernur DKI Jakarta melakukan penyisiran anggaran hingga detail. Emang gubernur-gubernur sebelumnya gimana? Ngga tahu. Tapi Bapak memang senang bekerja detail. Sampai belanja pulpen dan kertas aja dibahas panjang lebar.
Saya masuk Balai Kota pada Oktober 2015 sebagai anak magang di tim anggaran. Saat itu penyusunan anggaran 2016 sedang memasuki babak akhir KUA PPAS 2016. Saya dikasih dokumen-dokumen anggaran, dan kemudian diminta untuk mencari apakah ada kegiatan yang perlu dicermati. Saya tidak sendiri. Selain ada satu lagi di tim anggaran, ada juga teman-teman dari tim lain yang membantu “menyisir” anggaran.
Dari penyisiran kami ada beberapa temuan atau indikasi kegiatan yang tidak efektif dan efisien. Kemudian saya membuat kompilasinya. Saat itu kami penasaran, apa yang terjadi pada proses penyusunan anggaran sehingga dokumennya seperti tidak matang?
Untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, saya kemudian ngobrol-ngobrol dengan banyak orang. Ketemulah dengan beberapa PNS muda yang ternyata prihatin dengan proses penyusunan anggaran saat itu. Singkat kata, saya menemukan ada langkah-langkah yang dilewati, sehingga penyusunan anggaran menjadi terkesan tidak terkendali. Selain itu, aplikasi IT yang sudah dibuat pun ternyata pemanfaatannya minimal.
Temuan ini kemudian saya laporkan kepada PIC saya. Saat itu hari Senin 16 November 2015 sore hari. PIC saya waktu itu tahu bahwa situasinya cukup parah. Tapi masalahnya, menurut jadwal, 4 hari lagi atau 20 November 2015 adalah penandatanganan MoU KUA PPAS. Waktunya sempit sekali untuk menangani masalah yang skalanya cukup besar. Karena sudah kadung marah lihat keadaan, saya waktu itu bilang, “Soal jadwal itu urusan elo, gue sih ngga peduli. Lo harus bilang ke Bapak.”
Malamnya, si PIC melaporkan kepada Bapak. Selasa pagi Bapak datang ke kantor dan langsung marah-marah di depan awak media. Selasa siang saya ada kesempatan sebentar ngobrol sama Bapak sambil makan siang bareng, melaporkan sedikit temuan saya mengenai proses penyusunan anggaran dan hasilnya.
Rabu 18 November 2015 pagi sekitar jam 9 saya datang ke Balai Kota seperti biasa. Saat baru sampai Gedung DPRD, saya ditelpon oleh PIC saya untuk datang ke ruang Rapim. “Ada rapat nih,” katanya. Saya pikir saat itu cuma rapat tim biasa saja. Saya mendekat ke ruang Rapim masih mengunyah pisang goreng yang saya beli di samping Bank Bangkok. Agak bingung kenapa kok di depan ruang Rapim ada beberapa staf PNS.
Lalu saya masuk. Saat mau buka pintu, saya dengar Bapak sudah marah-marah. Ketika kepala saya nongol di pintu, Bapak langsung bilang, “Ismail, coba kamu tunjukin hasil kemarin melototin anggaran. Paparin aja!” Saya minta waktu sekitar 10 menit untuk rapihkan paparan. Terutama karena saya harus menghilangkan kalimat-kalimat yang sensitif.
Setelah sudah saya rapihkan, kemudian saya minta ijin untuk memaparkan temuan-temuan anggaran. Saya pakai bahasa yang cukup frontal saat itu. Waktu itu saya pikir periode magang kan hanya sampai Desember 2015. Cuma tersisa 1,5 bulan lagi. Jadi, buat apa saya santun dan jaim? Akhirnya saya beberkan hal-hal yang menurut saya–dan teman-teman magang–kurang tepat.
Saya sampaikan apa saja kesalahan-kesalahan penyusunan anggaran di hampir semua bagian. Saya juga sampaikan berapa rupiah yang harus dipotong di masing-masing SKPD beserta alasannya. Tangan kanan saya mengoperasikan laptop, tangan kiri menggenggam daun meja sambil gemetaran. Keringat dingin bercucuran. “Entah apakah hari ini bisa pulang dengan selamat,” pikir saya waktu itu.
Bisa ditebak hasilnya: Bapak tambah marah. Bapak minta agar anggaran dievaluasi lagi. Lalu dia bilang akan memeriksa satu per satu. Rapat selesai sekitar jam 12 siang. Kemudian jam 13 dilanjutkan dengan menyisir anggaran Dinas Pariwisata. Jam 12 malam baru selesai.
Penyisiran anggaran tersebut kemudian berlanjut hingga 11 hari kemudian. Mulai jam 9 pagi sampai tengah malam. Pernah Bapak menyisir sampai jam 01:30 pagi. Pada saat penyisiran anggaran, tugas kami saat itu adalah membuat ringkasan kondisi anggaran SKPD yang akan disisir oleh Bapak. Kami kemudian mendiskusikan temuan-temuan kami ke Bapak secara terbuka.
Sebenarnya apa yang saya dan teman-teman “temukan” saat itu bukan berasal dari penilaian ahli (expert judgment). Sebaliknya, kami justru baru mengenal anggaran di Pemda. Kami hanya mengandalkan logika dan pengetahuan yang selama ini kami dapat selama di luar birokrasi. Tapi anehnya, dan ini bikin saya takjub, Bapak mau mendengarkan opini dari anak ingusan seperti saya. “Lo kirim aja ke WA gue, tulis yang rapi, biar nanti gue yang forward ke SKPD,” kata Bapak.
Saat SKPD disisir oleh Bapak, ternyata banyak kesalahan elementer yang diulang-ulang. Oleh karena itu diputuskan agar SKPD disisir dulu oleh Tim Gubernur dan anak magang sebelum menghadap ke Bapak. Coba bayangkan, ada birokrat sudah belasan atau puluhan tahun pengalaman harus menghadapi “sidang anggaran” oleh anak muda umur 20an, yang sebagian besar malah baru saja lulus kuliah. Pasti mereka keki abis.
Seringkali kami harus menemui berbagai mata anggaran yang “ajaib”. Yaitu ketika kami tanya apa tujuan dan bagaimana analisa kebutuhannya, si penyusun celingak-celinguk tidak tahu. Mungkin karena sudah berhari-hari begadang dan berkali-kali menemukan keajaiban-keajaiban, saya sempat lepas kendali. Beberapa kali saya komentar dengan nada tinggi dan sinis. Kabarnya ada beberapa PNS komplain ke Bapak. Saya dianggap tidak sopan karena memarahi PNS.
Salah satunya, waktu itu saya berdebat cukup keras mengenai “uang transport untuk warga” sebesar Rp 150 ribu. Saya hitung-hitung ternyata nilai totalnya lumayan besar, sampai ratusan milyar. Uang transport tersebut dipakai sebagai “uang saku” kepada warga Jakarta yang terlibat di kegiatan Pemprov. Salah satunya acara pelatihan.
Saya tanya, “pelatihan kan sudah gratis, serta ada snack dan makan siang. Kenapa harus ada uang transport?” Dijawab, “kasihan kalau ngga ada uang transport, apalagi yang rumahnya jauh.” Saya tanya lagi, “Kalau rumahnya jauh, kenapa ngga kita sewa bus aja, atau minta Transjakarta untuk menjemput mereka?” Dijawab lagi, “lokasinya terpisah-pisah, susah untuk koordinasi.” Saya tanya lebih lanjut, tapi jawabannya muter-muter lagi, dan saya tetap ngotot pengen hapus.
Di tengah situasi deadlock itu, tiba-tiba ada yang bilang, “kalau ngga dikasih uang transport, warga ngga mau hadir di pelatihan.” Saya pikir, itu jawaban yang jujur. Kemudian saya komentar, “Bapak-Ibu kan bilang bahwa pelatihannya bagus dan dibutuhkan. Jika warga ngga mau datang ke pelatihan hanya karena ngga ada uang transport, maka pelatihannya berarti ngga bagus dan ngga dibutuhkan.” Rupanya komentar saya ini dianggap kurang ajar. Dan bodohnya, saya waktu itu sama sekali tidak sadar bahwa yang saya hadapi adalah Wali Kota, Wakil Wali Kota, dan Sekretaris Kota.
Lalu datanglah teguran dari Bapak agar saya bisa lebih menahan diri. Dari kejadian itu, saya baru sadar bahwa ternyata Bapak itu sabar banget. Saya baru sebentar di Balai Kota aja sudah pengen marah-marah mulu. Di sisi lain, Bapak mau berdebat panjang lebar dan mengajari ini itu sampai detail. Saya mah ogah banget.
Penyisiran anggaran selama 11 hari ini kemudian membuahkan pemotongan anggaran sekitar Rp 4,5 triliun. Lalu ada cukup banyak kebijakan yang secara fundamental mengubah pola penyusunan anggaran di Jakarta. Misalnya untuk lampu PJU, pemeliharaan taman, pemeliharaan pompa, maintenance kendaraan & utilitas, rehab gedung, pembelian ATK, makanan, dan lain-lain. Termasuk ide untuk membuat 3 level password ebdugeting itu juga mengerucut saat penyisiran anggaran ini.
Setelah itu kemudian Bapak menawari saya menjadi staf gubernur yang khusus menangani anggaran. Kemudian saya juga diminta untuk mengawal urusan lelang. Kedua urusan inilah yang selama 19 bulan terakhir membuat saya harus sering-sering nengok ke belakang kalau malam-malam pulang ke kosan. Bisi we ada orang kalap nyewa pembunuh bayaran, apalagi katanya tarifnya cukup murah.
Terimakasih, Bapak. Saya pikir, Bapak adalah satu-satunya politisi yang mau memberikan kesempatan dan kepercayaan bagi anak muda untuk berbagi peran secara aktif menangani hal strategis. Tidak pernah saya menjumpai orang yang begitu terbuka, jujur, dan apa adanya.
(Yayan – www.harianindo.com)