Jakarta – Kemenangan paslon Anies Baswedan-Sandiaga Uno sambut takbir banyak kalangan muslimin. Meski demikian, ada beberapa pihak di tanah air yang justru bersikap sebaliknya.
Ketakutan akan Islamis “garis keras” di barisan pemenang Pilkada. Takut akan ada penerapan ini dan itu yang bakal marginalkan kalangan tertentu.
Seperti dilansir dari Republika, Sabtu (22/4/2017), rasa takut, cemas, dan gundah itu nyata adanya. Terlepas potensi terjadinya jauh dari kebenaran. Bayangan bakal adanya kekerasan kebijakan atau aturan oleh pemenang Pilkada boleh jadi sekadar imajinasi. Dan ini refleks bawa sadar pengetahuan epistemik yang akut. Meski absurd dan nihil, mereka meyakini mantap. Terus-menerus mereproduksi makna ketakutan. Dibuat dan dimasifkanlah istilah itu di ruang publik. Dalam situasi sekarang, mereka menuntut komitmen pemenang Pilkada.
Imajinasi ketakutan tersebut bagi para awam yang jahil ilmu bisa dimengerti. Sayangnya, itu direproduksi pemegang informasi dan kalangan berpendidikan. Ketakutan yang ada mewakili terputusnya simpton saraf prasangka baik. Hal-hal baik pada pihak “mereka” ditutupi saraf sangkaan buruk. Tak beda dengan masa Baitul Maqdis direbut pasukan Shalahuddin. Tentang yang tidak-tidak kendati hanya mitos dan refleksi tindakan di masa lalu ulahnya. Inilah yang terwakili sebagai ketakutan tang politik. Secara dialektis, ketakutan yang dipolitisasi.
Jikalau keberanian menjadi senjata kalangan pendukung yang kini memenangi Pilkada Jakarta, secara berkebalikan ketakutan adalah amunisi dan arsenal pemegang kekuasaan (politik, ekonomi, modal uang, opini media) demi hadirkan politik wajah baru. Ya, saat kondisi-kondisi tak nyata dianggap fakta. Saat kondisi-kondisi jauh terbayangkan malah digadang-gadang bakal terwujudkan. Dunia fantasi ini kumulasi dari tiadanya adab dan culasnya ilmu.
Tudingan buruk lebih dianggap objektif ketimbang sikap kritis dan jujur dalam memfirasat. Syariat Islam yang terbayangkan dari imajinasi sebagian kalangan dan diembuskan media tertentu merupakan contoh ketika ketakutan jadi alat politik untuk dibahanakan.
Baca juga: Elektabilitas Prabowo Sangat Ditentukan Oleh Kinerja Anies-Sandi
Padahal, agenda setting pemberitaan semacam ini malah memperlihatkan watak biadab dan diskriminasi mereka. Sebuah kondisi konsekuensi dari rusaknya saraf jujur dan elegan memandang keragaman. Mestinya pelajaran dalam Perang Hiththin sampai direbutnya Baitul Maqdis membuka minda para intelektual yang mencemasi naiknya Anies-Sandi di Ibu Kota. (Yayan – www.harianindo.com)