Jakarta – KH Mustofa atau yang lebih akrab disapa dengan nama Gus Mus angkat bicara terkait banyaknya sebutan ustaz atau ulama yang mendadak melekat pada diri seorang. Menurut Gus Mus, gelar ulama sesungguhnya mencerminkan perilaku yang baik dan saleh.
Ia menyatakan, seseorang yang dipanggil ulama harus bisa menunjukkan kesalahen pribadinya. Ulama yang baik, yang memiliki ukuran nilai kepantasan.
“Ulama kok sobo (main) pendopo itu apa, apa mau ikut tender? Ulama kok mimpin demo. Ini aneh sekali,” kritik Gus Mus, ketika menjadi narasumber anti hoax di Semarang, Kamis (20/4/2017).
“Jadi ada kepantasan laki-laki itu apa, bupati itu apa. Dari nurani saja sudah cukup, cukup gak (mereka yang demo) dipanggil kiai,” kata mantan Rais Am PBNU ini.
Gus Mus menegaskan, ukuran kepantasan untuk seseorang disebut ulama penting adanya. Hal itu karena masyarakat tidak tahu mental dari seseorang.
Pengasuh pondok pesantren Raudlatul Tholibin Leteh Rembang tersebut pun mengkritik relasi antara ulama dan umara (pemerintah). Ukuran antara pemerintah dan umara harus dibedakan. Yang baik menurut ulama, lanjut Gus Mus, belum tentu baik menurut Pemerintah.
Apabila konsep kesalehan diberikan pada ulama, maka pihak kepolisian tak mendapat porsi kesalehan.
“Kesalehan pejabat, ulama, itu beda-beda. Kalau gubernur beritikaf di masjid sampai Dzuhur, tiap malam datangi pengajian, itu buruk sekali. Itu bukan saleh,” tambahnya.
Oleh karenanya, Gus Mus mengimbau agar tugas pemerintah dan ulama tidak tumpang tindih. Pembagian tugas itu perlu diperhatikan secara seksama.
Baca juga: Status Ade Armando : “Orang Pintar Pilih Ahok, Orang Bodoh Pilih Anies”
“Di era orde baru, ada istilah ulama dan umara. Kalau ulama baik, umarabaik itu baik, tapi kalau baik-baikan itu rusak. Tentu baik-baikan dalam artian yang buruk,” tegas Gus Mus. (Yayan – harinaindo.com)