Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut telah memerintahkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk mememinta pendapat MA terkait status Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Hal ini disebutkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir seusai bertemu dengan Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/2/2017) dalam rangka mengundang Jokowi untuk menghadiri Tanwir PP Muhammadiyah.
Pada kesempatan tersebut juga turut dibahas beberapa masalah terkini yang sedang menjadi pokok pembicaraan di dalam negeri, termasuk soal status Ahok yang kembali aktif menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta meskipun status hukumnya telah menjadi terdakwa.
“Ini kan banyak tafsir. Bahkan Pak Presiden betul-betul memahami dan menyadari adanya banyak tafsir tersebut. Bahkan beliau meminta Mendagri untuk minta pandangan resmi dari MA,” kata Haedar seusai pertemuan, Senin.
“Saya pikir itu langkah yang cukup elegan ya di tengah banyak tafsir tentang aktif dan nonaktif ini maka langkah terbaik adalah meminta fatwa MA,” tambahnya.
Haedar kemudian berharap kepada MA untuk dapat segera memberikan pertimbangan terkait status Ahok sehingga masalah ini tidak menjadi perdebatan yang panjang di tengah masyarakat.
“Agar kita ini semua ada dalam kepastian hukum dan tidak ribet dan gaduh seperti ini,” ucap Haedar.
Seperti diketahui, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah yang menjadi terdakwa harus diberhentikan sementara. Namun hal ini dilakukan bila yang bersangkutan didakwa dengan hukuman di atas lima tahun.
“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” demikian bunyi Pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam kasus Ahok, ia didakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.
Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sedangkan pada Pasal 156a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun.
(samsul arifin – www.harianindo.com)