Jakarta – Publik dibuat terkejut mendengar cerita Koordinator Kontras Haris Azhar yang mengaku pernah bertemu dengan terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman pada 2014 lalu dimana Freddy membuat pengakuan kepada dirinya terkait permainan aparat penegak hukum di Indonesia dalam bisnis narkoba.
Namun publik juga dibuat bingung mengapa Haris Azhar baru mengungkapkannya sekarang saat Freddy Budiman sudah meninggal sehingga tidak bisa lagi melakukan kroscek terkait kebenaran dari ceritanya itu?
Menurut Haris, dirinya mempunyai pertimbangan tersendiri soal mengapa ia baru menceritakannya sekarang. Haris mengaku pada saat itu kondisi politik di Indonesia sedang memanas jelang Pilpres 2014 dan ia ingin menunggu terlebih dahulu bagaimana hasil Pilpres.
“Tidak lama setelah itu, ramai KPK soal BW (Bambang Widjojanto) dikriminalisasi. Dan jujur, ada jarak antara Kontras dengan polisi maupun Jokowi. Karena itu kami tidak tahu bagaimana menghadapi situasi ini,” kata Haris di kantor Kontras, Jumat (29/7/2016).
Karena itu Kontras tidak mau gegabah karena masalah ini menyangkut beberapa institusi besar, termasuk kepolisian yang tentunya juga mempunyai kekuatan dan dukungan yang besar juga.
“Kami lihat dulu apakah Joko Widodo ini punya kaki untuk kontrol institusi itu. Kami tidak mau hanya melapor dan direspons sebagai orang gila,” ucap Haris.
“Lalu kenapa tidak saat Freddy masih hidup? Kalau di luar momentum ini, tidak ada yang memperhatikan juga,” tutur Haris.
Namun demikian, Haris siap mempertanggungjawabkan pernyataannya ini untuk membongkar keterlibatan oknum pejabat penegak hukum dalam memanfaatkan bisnis narkoba demi mengeruk keuntungan pribadi.
Menurut pengakuan Freddy Budiman kepada Haris pada saat, Freddy mengatakan dirinya hanyalah operator dari penyelundupan narkoba skala besar di Indonesia. Pada saat akan memasukkan narkoba ke Indonesia dirinya melapor terlebih dahulu ke beberapa pihak agar berjalan lancar.
“Kalau saya mau selundupkan narkoba, saya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang yang saya hubungin itu semuanya titip harga,” kata Haris mengulangi cerita Freddy, di Kontras, Jakarta, Jumat (29/7/2016).
Menurut Freddy, dirinya mendapatkan narkotika dari China dengan haga Rp 5 ribu setiap butirnya yang kemudian dia jual ke Indonesia seharga Rp 200 ribu per butir. Karena itu Freddy tidak keberatan bila ada oknum aparat yang meminta ‘jatah’ Rp 20-30 ribu per butirnya.
(Samsul Arifin)