Jakarta – Berita duka menyambangi dunia hukum Indonesia. Advokat senior Adnan Buyung Nasution menghembuskan napasnya yang terakhir di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Adnan meninggal dunia di usianya ke-81 tahun.
Semasa hidupnya, pria bernama asli Adnan Bahrum Nasution ini dikenal sebagai sosok yang idealis. Buyung yang anti korupsi dan tak segan melontarkan kritik ini menjadi sosok yang tak disukai presiden manapun.
Setelah menyandang gelar sarjana hukumnya dari Universitas Indonesia, Buyung diterima bekerja sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta sembari melanjutkan kuliahnya. Keterlibatannya di dunia politik dalam sebuah aksi demonstrasi membuat Buyung dimutasi ke Manado dan Medan.
Saat itu, dia bersama sejumlah mahasiswa lainnya menentang pemerintahan Presiden Soekarno saat berlangsungnya peristiwa Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu). Aksi tersebut membuatnya dihukum karena dianggap menentang pemerintahan yang revolusioner.
Tak hanya di era Soekarno, Buyung juga pernah dibenci Presiden Soeharto. Dalam bukunya berjudul ‘Pergulatan Tiada Henti’ terbitan Aksara Karunia, 2004, dia tak dianggap saat memaparkan rencana aksi anti- korupsi yang dibuatnya.
Saat itu, Buyung ditemani Harjono Tjitrosoebeno, Erie Sudewo, Fuad Hassan, dan Reen Moeliono. Soeharto didampingi lima orang jenderal. Buyung menyerahkan dokumen tertulis, lalu menjelaskan maksud Buyung dan kawan-kawan yang ingin Orde Baru dibersihkan dari praktik korupsi. Dia meminta Soeharto menyeret petinggi militer yang diduga korupsi ke pengadilan.
“Seret jenderal-jenderal yang korup itu ke pengadilan!” ucapnya saat itu.
Mendengar itu, tanpa banyak bicara, Soeharto langsung meninggalkan seluruh tamunya dan tak kembali lagi. Seketika, pertemuan langsung berakhir. Kemarahan Pak Harto baru diketahuinya saat membaca koran sore yang berjudul, ‘kalau bukan Buyung sudah saya tempeleng’.
“Informasi koran dan juga informasi lain mengatakan Soeharto marah betul kepada saya,” aku Buyung seperti tertuang dalam halaman 191 buku Pergulatan Tiada Henti.
Idealismenya berlanjut ketika Susilo Bambang Yudhoyono menunjuknya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) periode 2007-2009. Dalam buku ‘Nasihat untuk SBY’, dia sempat menyindir sejumlah menterinya hanya nurut dan berlaga seperti yes man.
Pengamat politik UI, Ibramsjah mengatakan wajar saja kalau pemikiran Buyung tak didengar dan dihiraukan oleh SBY. Hal itu karena pemikiran dan masukan Buyung tak menyenangkan SBY.
“Walaupun sebenarnya pemikiran dan masukan itu baik untuk kebijakan SBY dan bangsa. Wajar saja SBY tak suka kepada Buyung, karena sosok orang seperti Buyung bukanlah tipe orang yang hanya menyenangkan SBY saja. Dia (Buyung) kan memiliki integritas untuk membangun bangsa dan negara,” ujar Ibramsjah, Jakarta, Sabtu, (26/5).
“Bukan hanya pencitraan-pencitraan saja seperti apa yang dilakukan oleh menteri-menteri dan pejabat lainnya. Buyung itu punya karakter dan prinsip yang sangat kuat. Dirinya berani mengatakan benar walaupun pahit,” lanjutnya.
“Pemikiran bang Buyung untuk membangun bangsa, kenapa gak boleh bicara dan berpikir. Beliau (Buyung) tak melanggar etika. Demokrasi memberikan kebebasan dalam menyampaikan suara dan pemikiran. Lebih-lebih pemikiran yang sifatnya membangun bangsa dan negara seperti apa yang diutarakan oleh Buyung,” pungkas Ibramsjah. (Dwi Kristyowati – www.harianindo.com)